Sekolah yang Lama, Kerja yang Lama

Bukan cuma sekali dua kali kudengar Orang Kita menjelaskan bahwa dia sudah kerjakan sesuatu dari pagi sampai malam sampai berhari-hari. Intinya: Saya kerja keras. Buktinya sudah sekian jam saya habiskan untuk bekerja.

Lalu Si Jepun dengan santainya mengajukan satu dua pertanyaan "sepele" yang ternyata luput diselidiki oleh Orang Kita saking sibuknya melewatkan berjam-jam.

Lanjut Si Jepun, "Keberhasilan seorang pekerja itu tidak diukur dari jumlah jam yang dipakainya untuk bekerja, melainkan pada ada tidaknya hasil (merit) kerjanya."

Memang sepertinya sudah menjadi pakemnya orang kita bahwa makin lama kerjanya makin bagus. Sebaliknya kalau satu jam saja sudah selesai kerja, khawatir nanti dikira atasan tidak bekerja.

Sama pula halnya dengan pendidikan. Si Jepun mencantumkan jabatannya pada kartu nama, tetapi tidak pernah mencantumkan gelar pendidikannya. Kalau orang kita, cuma gelar S1 saja wajib kudu harus dicantumkan. Pakemnya orang kita, makin lama sekolahnya makin pintar. Sebaliknya juga, kalau pendidikannya cuma lulus SD jadi minder, khawatir dikira bodoh. Lha, sekolahnya cuma sebentar begitu, mana bisa pintar?

Makin banyak hafalan makin pintar. Makin lama duduk di dalam kelas, makin mencerdaskan. Orang tua pun membebani anak-anaknya dengan les privat pelajaran sekolah ini itu, karena khawatir anaknya sekolah kurang lama (baca: kurang pintar) belajarnya. Tidak mengherankan jika setelah bekerja, pakemnya menjadi makin lama bekerja makin berhasil. Otaknya sejak kecil telah dilatih untuk bekerja yang lama, tetapi tidak dilatih untuk kritis menggali inti masalah.

Saya lalu jadi bertanya-tanya, kalau di Jepang ada yang cuma tamat SMP tapi diangkat jadi menteri, apakah hebohnya akan sama seperti di Indonesia? Apakah juga akan timbul pertanyaan "kok bisa"?

Ada yang mengaku guru mengatakan, jangan sampai generasi muda sekarang terpengaruh sehingga berpikir bahwa cukup tamat SMP saja bisa jadi menteri. Benar itu, sahut guru lain. Bagaimana kalau ditanya anak didik, kok lulus SMP bisa jadi menteri.

Lha.... memangnya Ibu Susi Pudjiastuti diagkat jadi menteri karena cuma lulus SMP tah?

Kalau ada anak didik yang mengatakan mau berhenti sekolah sampai SMP saja, karena mau mengikuti jejak Ibu Susi Pudjiastuti, ingatkan saja untuk tidak hanya mengikuti sekolahnya, tetapi kerja kerasnya, kreatifitasnya, membangun bisnis selama 30 tahun lebih. Habis itu baru jadi menteri. Apakah kamu sanggup seperti itu?

"Sanggup!" jawab Si Anak Didik. Nah loh. Pelik kan?

Tanyakan lagi, "Tahukah kamu berapa lamanya 30 tahun itu?" Anak kecil kan biasanya masih kurang punya gambaran tentang waktu. "Kamu bayangkan pada saat Ibu Susi berhenti sekolah, ada seorang bayi lahir. Bayi ini lalu tumbuh menjadi seorang anak seperti kamu. Bedanya, dia suka sekali bersekolah seperti gurumu ini. Usia 12 tahun dia lulus SD. Usia 15 tahun lulus SMP. Usia 18 tahun lulus SMA. Usia 22 tahun dapat gelar S1. Lanjutkan! Usia 24 tahun dapat gelar S2. Ah, kurang lama sekolahnya. Usia 26 tahun dapat gelar S3. Coba kamu bayangkan, si bayi ini sudah berusia 26 tahun, sudah sekolah sampai S3. Apakah Ibu Susi sudah jadi menteri? Belum!"

Yang tamatan S2, S3, es teler, sirik kali ya? Sudah sekolah sampai teler, cuma jadi karyawan. (Ooops!) Eh... ini ada yang cuma sampai SMA kelas 2 bisa jadi menteri. Betapa tidak adilnya dunia. Hahaha. Padahal kita lupa bahwa sebelum jadi menteri, Ibu Susi Pudjiastuti sudah 30 tahun lebih sekolah di tempat lain. Dia bukan hari ini berhenti sekolah, besok dagang ikan, lusa jadi menteri. Lagi-lagi pakem kita adalah bahwa yang namanya sekolah (baca: belajar) itu harus duduk di bangku sebuah sekolah, sehingga kalau tidak ada "S"-nya, dianggap bukan sekolah. Kita mungkin lupa bahwa sekolahnya Ibu Susi buat bisa jadi menteri itu lebih susah daripada sekolah S3.

No comments: