ジャカルタの旅

一番大きいし、一番古い
ほら!コタ駅です

スターバックスってどこでもあると分かる
けど、中に座って、内部を見て
雰囲気が感じられると、
ジャカルタ幸せの一つです

地下トネルに入り
インドネシア銀行博物館迎え
 
タジン・アイス飲みましょう!
昔々は貧乏な赤ちゃんのミルク換わりだった
けど、大人にも健康にはいいと、
ジャカルタ幸せの一つです

中華街へ続け、いっぱい歴史並べられます
昔は皆とお互いに世話になったよね

スターバックスとの値段が比べられるより
タクキは見た目で単純なアイス・コヒーだ
けど、美しい豊富さが味わえると、
ジャカルタ幸せの一つです

会社の車を置いておいて、ドライバーを休ませて
ジャカルタだから、バスウェイに乗りましょうよ

バナナ、バナナ、バナナ
あなたの寂しさは何となく分かる
けど、ラグサのバナナ・スプリットが楽しめると、
ジャカルタ幸せの一つです

ジャカルタの歴史は非常に長い
けど、あなたにはあっという間、きっと

意思を入れて、サリナーに来て
奥さんは色々物が好きと言われた
けど、一番欲しい物をお土産にすると、
奥さん幸せの一つです



BLOK M の反対側から、
2015年12月9日

Mozaik Oey Andrea


Andrea Hirata dan Oey Thai Lo mungkin akan sepakat bahwa adalah takdir yang mempertemukan mereka di atas meja lipat putih buatan IKEA milikku. 

Ceritanya, aku tengah memasuki fase bosan bin jenuh dengan segala rupa yang berbau sosmed. Satu, eh dua, kata: panggung sandiwara. Yang lebih memuakkan buatku adalah menjadi salah satu dari pemainnya tanpa benar-benar kuinginkan. Lagi-lagi aku berhenti meneruskan blog perjalananku walaupun sudah berjanji untuk kesekian kalinya pada mereka dari negara ketiga terakhir yang kukunjungi untuk terus menulis sebagai bentuk apresiasiku pada orang-orang asing yang telah berhati emas untukku. Berplesir, berfoto, membayangkan diri seorang petualang sejati, menulis, diberi jempol, dipuji, diacuhkan, berplesir lagi, berfoto lagi, menyanjung diri sendiri lagi, menulis, diberi jempol lagi, satu tahun, dua tahun, tiga tahun, empat tahun… teringatlah aku pada janji lain. Ini cuma janji pada diri sendiri. Aku janji akan membaca karya Andrea Hirata lainnya setelah menyelesaikan tetralogi Laskar Pelangi-nya.

Gramedia, aku datang, lagi. Ayah dan Padang Bulan kuraih. Kalau habis ini langsung jalan ke kasir, itu bukan pergi ke toko buku namanya. Tour de Bookstore dimulai.

Letnan Oey Thai Lo: Anak Tukang Cukur Miskin dari Fukien menjadi Taipan di Betawi. Pertama, Fukien, itu tempat kakekku lahir dan dibesarkan sebelum ia merantau ke Palembang. Kedua, marga “Oey” adalah satu dari puluhan marga Tionghoa yang punya beberapa makna untukku. Di pojok kanan atas tertera: Sebuah Novel Historis 1780-1838. Itu yang ketiga. Dulu di sekolah, pelajaran sejarah itu lebih membosankan daripada PKK. Ironisnya, setelah aku punya cukup pendapatan untuk berplesir, aku jadi penggila sejarah. Kalau aku jadi Menteri Pendidikan, aku akan mensyaratkan guru sejarah itu punya pengalaman berplesir dan berjiwa sastrawan. Sungguh tak salah almamaterku memasukkan Jurusan Sejarah di bawah Fakultas Sastra. (Ya iyalah, masakan mau dimasukkan di bawah Fakultas Hukum atau FMIPA?)

Dari guru-guru sejarahku yang semuanya membosankan itu, ada satu pernyataan (pengajaran?) yang takkan kulupakan selama hayat dikandung badan. Dia orang Timor dan kami mayoritas kaum mata sipit. Janganlah kita bicara warna kulit. Kasihan beliau. Kata beliau kepada kami,

“Devide et impera! Itulah yang bikin jadi ada yang namanya pribumi dan non-pribumi. Itulah yang bikin kita jadi seteru!”

Bosan sudah aku mendengar “devide et impera”. Lebih benci lagi ketika mama yang produk sekolah Belanda mengkritik mentah-mentah ucapan “devide et impera”-ku. 

Seakan ada awan-awan muncul di atas kepalaku dan Pak Abineno membacanya seperti membaca komik, beliau melanjutkan,

“Dengan membedakan sekolah untuk keturunan Tionghoa dan keturunan Melayu, nenek moyang kita telah dicekoki pemahaman bahwa kita berbeda kelas.”

Di rumah, kuceritakan itu pada papa yang produk sekolah Tionghoa. “Memang iya!” tukas papa. Kaget aku. Tak kusangka. Dari papa aku dapat pernyataan lain lagi. “Dijajah itu memang sial. Tapi paling sial kalau dijajahnya sama Belanda.” Mama cemberut.

Nah! Di atas meja lipat putih buatan IKEA ini, Andrea Hirata dan Oey Kwie Djien (penulis Letnan Oey Thai Lo) seakan berjabat tangan menyatakan sepakat: Belanda itu jahat.

Orang lain pastilah beranggapan aku membeli ketiga buku ini (Ayah, Padang Bulan, Letnan Oey Thai Lo) karena setipe. Andrea Hirata aku suka (banget) gaya tulisannya. Setting cerita dan tokoh, itu urutan berikutnya. Kalau Letnan Oey Thai Lo, karena alasan tadi di atas.

Aku terkesima. Walaupun yang satu cerita dari Sumatera dan yang satu lagi dari Jawa, walaupun yang satu cerita di tahun 1900-an akhir dan yang satu lagi di tahun 1800-an awal, walaupun yang satu pribumi dan yang satu lagi non-pribumi, isinya sama: Belanda jahat. Ya, ya, ya, memang sudah kubilang itu sebelumnya. Kompeni, miskin, kapal, kelontong, losmen, tembakau, kongsi, bahkan Pekalongan. Kerap aku jadi deja vu. Sedangkan rumus Melayu + Tionghoa = cinta, baik si Melayu maupun si Tionghoa berkisah, indah.

Satu kekeliruanku: membaca karya Andrea Hirata lebih dulu, baru Novel Letnan Oey Thai Lo. Setiap 4 halaman sekali, aku tak kuasa mengandaikan Andrea Hirata yang menuturkan kisah Letnan Oey Thai Lo. Lalu aku memarahi diri sendiri, karena kalau aku jadi Oey Kwie Djien, aku pasti sebal dibanding-bandingkan. Namun pada halaman ke-4 berikutnya dan berikutnya lagi, tak ayal pengandaian itu timbul kembali. Yang pasti, Letnan Oey Thai Lo lebih aman daripada Maryamah Karpov untuk diajak mengiring perjalanan kereta api 31 jam Beijing – Turpan. Para kerabat penumpang tidak akan menduga aku mengidap penyakit gila nomor 44 lantaran cekikikan lalu menggosok mata dengan tisu lalu cekikikan lagi dan terakhir menyedot ingus – semuanya tanpa minta ditemani mereka. 

Yang pasti satu lagi, oleh yang manapun, aku dibawa merenungkan tentang makna hidup. Sesungguhnya, itulah esensi dari semua kisah sejarah dan biografi, yaitu bahwa:

Adapun manusia, hari-harinya seperti rumput,
seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga;
apabila angin melintasinya, maka tidak ada lagi ia,
dan tempatnya tidak mengenalnya lagi. (Mazmur 103:15-16)

Aku tidak menggolongkan diri pada yang percaya feng shui. Bagiku, hidup itu sepenuhnya di tangan Allah, bukan di arah hadap pintu dan jendela. Meskipun begitu, aku suka memperhatikan feng shui, karena ada di antara anjuran dan larangannya itu yang sebetulnya mengandung alasan ilmiah. Sederhananya, kita tetap tidak akan menjulurkan jari ke dalam api kompor di rumah, meskipun di dalam Kitab Suci tidak ada ditulis, “Janganlah engkau menaruh jarimu di atas kompor.” Menjulurkan jari ke dalam api akan membawa sial. Pastinya. 

Maka, di depan meja putih lipat buatan IKEA ini aku tiba-tiba menegakkan pundak mengikuti petunjuk ahli feng shui-nya Oey Thai Lo ketika hendak merenovasi rukonya di Jalan Toko Tiga. Eh, nasib. Satu lembar dari novelku ini tak ada. Satu lembar itu artinya 2 halaman. Di bagian lain, ada lagi satu lembar yang tak nampak. Penggantinya, 2 lembar yang dobel dan 1 lembar terbalik. Mungkin percetakannya waktu bikin pabrik tidak konsultasi pada ahli feng shui. Sepanjang sejarahku membaca buku, tidak pernah rasanya seapes ini dapat buku. Alhasil ada detail feng shui yang hilang. Tahu-tahu ceritanya sudah sampai pada kursi makan yang tidak boleh menghadap ke Barat dengan alasan lafal kata “Barat” dan “mati” itu serupa. Ah, itu sama dengan toko yang katanya juga tidak boleh menghadap ke Barat. 

Aku sih setuju. Bangunan itu kalau menghadap ke Barat, dapatnya panas matahari siang yang sungguh tidak nyaman. Belum lagi kalau lokasinya di pesisir pantai. Di jaman AC belum tercipta, toko menghadap ke Barat bisa semakin membawa sial, karena pelanggan tidak akan betah di dalamnya, atau bahkan malas berkunjung. Sebaliknya, pada pagi hari toko akan kelihatan suram karena kurang cahaya matahari. Kesannya yang jualan nggak niat. Tidak ada pengunjung = tidak ada keuntungan. Tidak ada keuntungan = tidak ada hoki. Lumrah.

Namun, sedemikian usaha Oey Thai Lo menghindari arah Barat, ia tetap gagal menghindari kematian. Di rumah itu, istrinya dan dirinya sendiri meninggal, dalam usia yang terbilang muda. 20 tahunan kemudian, putranya yang hingga hari ini diingat sebagai playboy Batavia, meninggal di tiang gantungan pada usia 31 tahun. Dosanya? Membuat saingan-saingnan bisnisnya menghadapi kematian di luar kehendak mereka. Adiknya, aku curiga sudah meninggal lebih dulu, karena menurut kisah, adiknya itu sejak lahir penyakitan.

Di atas tanah bekas jajahan Belanda ini, sesungguhnya lebih bermakna hidup sebagai pendulang timah atau sebagai pedagang tembakau? Bagiku, hidup seperti yang digambarkan oleh Andrea Hirata dalam novel-novelnya adalah hidup yang jauh lebih kaya. Kaya yang tidak terpengaruh oleh kurs. Dijajah Belanda boleh dibilang sial. Punya ayah yang kaya boleh dibilang untung.

Selamat Hari Ayah Nasional, 12 November 2015

GOD My Bellboy

Without looking at the mess around the house, I could feel the stress already. The day I dreaded of had finally come. My always-pretending-to-be intelligent mind drilled hard on a way, and on a list of few names.

Done.

"GOD, please, please, help me! I need you, GOD!"

GOD came, I told Him, and I waited.

Still waiting. Checking on my cellphone. Waiting again. Checking again...

"GOD... please touch X's heart to do A for me. Please talk to Y to do B for me. Or at least Z to do C."

GOD came, He told me nothing, and He waited.

I stared at S, T, U, V, who came along with GOD. "GOD? Didn't I say..."

However, before I could convinced GOD about my doubt, the task was done, by D Method. Complete and perfect.

GOD was still there, still telling me nothing. Like a bellboy. Nevertheless, my always-pretending-to-be intelligent mind somehow worked. I had asked GOD for help, but I trusted on X,Y, Z. X once said this and this, so X is very likely to lend me a hand. I often help Y, so Y would surely help me. Z is a spiritual guy, so GOD would easily convince Z to do me a favor.

I had asked GOD to run errands for me.