Gue Norak! Gue Norak!

Senang sekali aku melihat papan tulis di ruang kuliah kami bertuliskan teks dalam Bahasa Perancis. Sementara dosen kami belum datang, kubaca teks itu keras-keras dengan kebanggaan yang meluap-luap. Bayangkan! Aku anak Jurusan Sastra Jepang, tetapi bisa membaca teks berbahasa Perancis. Hebat, bukan?

Bulan demi bulan sebagai mahasiswa kulalui. Aku semakin kenal dengan teman-teman baruku. Di antaranya adalah Kanya. Sejak hari-hari pertama, kami sering pergi bersama dan melakukan kegiatan bersama. Kebetulan kami sama-sama sudah punya bekal Bahasa Jepang sebelumnya, sehingga ketika teman-teman berkutat belajar di kamar, Kanya malah menjadi pemanduku keliling Kota Bandung. Yuhuuu, indahnya jadi mahasiswa! Bandung, ai lap yu euy!

Ternyata ibunya Kanya adalah seorang lulusan Sastra Perancis. Bukan itu saja. Ibu Kanya adalah Guru Bahasa Perancis. Salah satu muridnya, Kanya sendiri. Keringat dingin merayap di punggungku. Ketika aku membaca teks berbahasa Perancis itu keras-keras, Kanya duduk persis di belakangku. Dia tidak ikut membaca dan juga tidak mengatakan apa-apa. Dia bersikap seakan dia tidak bisa Bahasa Perancis sama sekali.

Dibandingkan dengan orang yang buta sama sekali Bahasa Perancis, aku memang hebat. Namun bagi yang tahu, lafalku itu hancur berantakan. Banyak pula di antara kalimat itu yang aku tidak mengerti artinya, meskipun bisa baca. Singkatnya, kehebatanku itu bukan apa-apa sama sekali.

Aku salut pada keagungan sikap Kanya yang membiarkan diriku merasa hebat dan yang tidak menertawai hancurnya lafalku. Kalau aku ada di tempat Kanya saat itu, aku pasti akan tertawa keras-keras. Pasti. Aku salut sekaligus malu pada Kanya.

Kejadian itu menjadi pelajaran yang sangat berharga. Berlangsungnya tidak lebih dari 10 menit. Tetapi, kuingat melebihi mata kuliah manapun yang pernah diberikan oleh dosen-dosenku. Hati-hatilah ketika berbicara, karena aku tidak tahu dengan siapa aku berbicara. I don't know whom I'm talking to. Orang yang aku pikir sudah kenal, belum tentu benar-benar kukenal.

Dari Kanya aku belajar untuk bersikap gentleman ketika ada orang yang memamerkan kehebatannya. Dari Kanya aku belajar untuk tidak norak.

Ternyata yang pertama lebih mudah diterapkan daripada yang kedua. Belasan tahun kemudian aku masih belum lulus juga. Kejadiannya di tempat kerja.

"Berangkat dari Istanbul pagi, sampai di Kuala Lumpur pagi besoknya. Padahal perjalanannya nggak ada 24 jam!" ceritaku berapi-api pada seorang rekan kerja. "Satu hari itu jadi tidak ada 24 jam buatku."

"Oh... begitu ya...?" Rekan kerjaku itu seakan baru tahu juga bahwa ada perjalanan penerbagan semacam itu. Sikapnya benar-benar menunjukkan seperti itu.

Sekian hari kemudian aku baru sadar bahwa rekan kerjaku itu memang belum pernah ke Turki, tetapi sudah ke Eropa. Eropa betulan, maksudnya. Bukan Eropanya Turki. Tentulah dia juga tahu bahwa penerbangan kembali ke Indonesia akan mengalami persingkatan waktu.

Maklum, aku belum pernah sebelumnya bertamasya sampai sejauh Turki. Aku baru pertama kalinya itu mengalami lihat sunrise dan sunset dalam penerbangan yang sama. Aku norak, karena aku baru jadi bulir padi kosong. Ditiup angin sedikit saja sudah melambai-lambai ke angkasa.

Kemarin sore aku menguping percakapan di meja makan sebelahku di sebuah resto. Dengan kaki tertumpang di atas kaki satunya, dada membusung, kepala tegak, pemuda yang agak gemuk itu menceritakan perjalanannya dari Amerika kembali ke Indonesia. Aku seperti mendengar rekaman kata-kataku sendiri. Aku yakin kalau dia sudah sekian kali bolak balik Amerika - Indonesia, bicaranya tidak akan seperti itu lagi.

Aku terpekur di mejaku, membuat daftar kenorakan-kenorakan yang pernah aku buat. Panjang juga ternyata. Namun aku paling terdengar seperti pemuda di sebelah ini ketika aku baru pulang dari Jepang. 'Kalau di Jepang...' senantiasa mengisi setiap awal kalimat pembicaraanku sampai-sampai mama merasa perlu menegurku.

"Ceritakanlah semua tentang Jepang kepada papa dan mama. Apa saja. Semuanya. Ceritakan. Dan, ceritakan lagi. Kami tidak akan pernah bosan mendengar ceritamu. Tetapi belum tentu demikian dengan orang lain. Lama-lama orang bisa muak juga dengar sebentar-sebentar 'Kalau di Jepang...' "

Pikiranku lalu melayang kepada teman-teman seperti Kanya. Ah, teman itu rupanya adalah seorang dimana aku bisa berbagi kenorakan dan teman itu tidak pernah muak. Di samping daftar kenorakanku itu, kubuat daftar teman. Untuk teman-temanku yang tidak pernah muntah mendengar ceritaku, terima kasih ya!

Mimpinya Orang Jakarta

Ucap supir taksi, "Ya pastilah nanti trayek-trayek angkot itu dihapus dan diganti dengan busway. Maksudnya pemerintah kan biar mengurangi kemacetan."

Ucapan itu bukan hanya menambah kekhawatiran saya akan hilangnya angkot-angkot jurusan Pulo Gadung dengan adanya jalur busway jurusan Bekasi yang konon akan bermarkas di Harapan Indah. Ucapan itu seolah membangunkan saya dari sebuah mimpi. Mengurangi kemacetan?

Balas saya kepada supir taksi yang sedang berkutat dengan kemacetan akibat proyek pembangunan jalur busway jurusan Bekasi Sabtu lalu, "Bis AC03 jurusan Pulogadung - Blok M sudah lama almarhum sejak adanya busway. Apakah kawasan Thamrin Sudirman lalu berkurang macetnya? Sama aja!"

Supir taksi, "Iya juga sih."

Lanjut saya lagi, "Tetap aja yang naik busway itu rakyat kelas menengah ke bawah. Yang biasa naik mobil ya tetap naik mobil. Mana ada yang mau naik busway yang antriannya seperti orang antri sembako? Yang kondisinya makin lama makin reot, kalau jalan bunyinya berderik-derik? Yang pintunya tidak bisa tertutup rapat, sehingga air hujan tampias ke dalam? Coba tuh si pemerintah suruh naik busway! Mau nggak??"

"Ya nggak maulah," tukas supir taksi. "Naik mobil aja dikawal. Malah bikin tambah macet."

Soal jengkelnya saya pada Transjakarta sih sudah menahun, bahkan berindikasi makin parah. Dulu penderitaannya hanya seminggu sekali ketika harus menuju arah Thamrin. Sekarang penderitaannya jadi setiap hari ketika harus pulang pergi kerja. Dulu penderitaannya bermula dari Terminal Pulo Gadung. Sekarang penderitaannya bermula dari mana-mana. Dulu penderitaan antri dan naik busway yang berderik-derik bisa digantikan dengan naik taksi, asal ada uang. Sekarang, penderitaan macet di Jalan Raya Bekasi hanya mengajari saya bahwa tidak semua bisa dibeli dengan uang.


Macet parahhh arrrghhh. Tidak peduli hari kerja, atau akhir pekan. Sudah cari jalan lain pun, mobil-mobil lain ternyata seide. Macet juga. Kalau naik taksi, argo terus berputar. Badan tak berkeringat, tapi hati panas. Kalau naik angkot, badan berkeringat, tapi hati terhibur -- yang ini bo'ong banget -- oleh pengamen yang bisa menghabiskan dua lagu sementara angkot baru beranjak sejengkal saja. Lanjut angkot berikut. Sungguh harapan indah buat pengamen.

Kata orang, kalau terlalu banyak melamun, bisa gila. Yeuh, namanya juga macet, coy. Saya mulai membayangkan semua yang saya kenal. Siapa ya yang telah meninggalkan kebiasaan naik mobil pribadi, lalu naik busway? Satu namapun tak muncul di benak.

Mereka yang lalu naik busway adalah orang-orang seperti saya yang dulunya naik bis, tapi bis kesayangannya tewas, sehingga terpaksa naik busway. Busway itu sebenarnya memindahkan penumpang angkutan umum, bukan penumpang kendaraan pribadi. Okelah, badan busway lebih besar daripada badan bis kota sekalipun, sehingga matematikanya mungkin satu busway menggantikan dua bis kota. Tapi berapa jumlah tempat duduk di dalam busway? Apakah lebih banyak daripada jumlah tempat duduk di dalam dua bis kota? Yang tidak dapat tempat duduk harus berdiri. Apakah penumpang kendaraan pribadi sudi diminta 'berkorban' seperti itu?

Suatu Hari Minggu siang, setelah melewati perjuangan keras di Terminal Dukuh Atas, saya dapat tempat duduk di bagian khusus wanita. Ketika saya sedang setengah tertidur, saya dengar petugas busway berseru-seru,

"Tolong ya, kesadarannya! Ini ada yang bawa anak kecil!"

Pikir saya, wanita yang duduk di sini bukan cuma saya. Biarkan saja. Petugas wanita ini berseru berulang kali. Rupanya semua wanita di barisan depan sedang sepaham dengan saya.

Tiba-tiba lengan saya terasa ditepuk keras. "Mbak, mbak! Ini ada yang bawa anak kecil! Diminta kesadarannya! Mbak, mbak!"

Terpaksa saya beranjak dari tempat duduk yang sudah diperjuangkan dengan keras. Eh, setelah saya berdiri pun si mbak petugas masih berseru-seru, "Mohon kesadarannya ya! Mohon kesadarannya!"

"Ini udah sadar banget koq!" tukas saya keras-keras. Gemuruh tawa terdengar.

Eh, si petugas busway masih belum puas rupanya. Padahal si ibu yang bawa anak batita sudah mengambil tempat duduk saya lho. Kata si petugas busway, "Nanti kalau sudah punya anak baru tahu rasa!"

Matematika lagi. Jikalau benar analogi bahwa penumpang kendaraan pribadi tetap pada kendaraan pribadinya, kepadatan kendaraan pribadi di Jakarta tentunya tetap sama. Lalu, apakah ruas jalan diperlebar? Tidak. Justru dipersempit, karena termakan jalur busway. Ibarat botol, diketuk-ketuk dasarnya supaya isinya lebih padat dan ada ruang lebih di permukaannya. Ruang lebih itulah yang diperuntukkan bagi busway yang toh tidak menggantikan kapasitas semua angkutan umum.

Jikalau jumlah armada busway sepadan dengan kapasitas semua angkutan umum yang dilewati jalurnya, pemisahan jalur busway itu bisa berarti pemetaan jalur khusus untuk kendaraan umum. Ibaratnya, semua bis kota, angkot, mikrolet, metromini, kopaja, berkendara di satu jalur khusus. Dengan kata lain, meskipun jumlah penumpang kendaraan pribadi tidak berubah, penumpang kendaraan umum punya jalur khusus. Kalaupun kepadatan lalu lintas hanya berkurang sekian persen, paling tidak lalu lintas jadi lebih teratur alias lancar.

Tapi itu kan mimpinya orang Jakarta.

Dog, Pig, and Pearl

"Do not give dogs what is sacred; do not throw your pearls to pigs. If you do, they may trample them under their feet, and turn and tear you to pieces," said Jesus in Matthew 7:6

I've read this verse since I was a kid but never experienced (the hard way) how deep and how true was Jesus' philosophy, until just recently. It was an experience that taught me:

  1. Before you talk about your values, make sure first to whom you are talking. You will never get to a point if the other party doesn't carry the same value.
  2. If you insist, they may trample your value under your feet. When that happens, Jesus would say, "I told you."
  3. But the stupidest thing you can do is to tell the dog that he is a dog and the pig that she is a pig.
  4. And then you would be out of your mind if you get mad because the pig sniffs back at you while you try to explain what a pearl is.
  5. Before the dog tears you to pieces, you'd better back off immediately. You still can be friends with a dog, can't you? True, dog is man's best friend. But, a smart man doesn't give what is sacred to a dog.

Jakarta, September 19th 2012
when it was too late to back off

Make Me

Lord,

make me not just a friend
but also a faithful one

make me not just skillful
but also dependable

make me not just knowledgeable
but also generous to share

make me not just crushed
but also shaped


Between Jakarta and Bekasi,
June 28th 2012

Doa Seorang Direktur

Justus, nama perusahaannya. Seperti namanya, bisnisnya adalah jus minuman. Area suplai jus ini meliputi seluruh Negeri Bobrokan Asih, Utara, Timur, Barat, Selatan... pokoknya semua. Kantor cabangnya pun merata tersebar di mana-mana. Saat ini sudah ada 9 kantor cabangnya. Keberadaan kantor-kantor cabang ini sungguh membawa berkah. Beberapa orang tak sabar menanti dibukanya cabang baru. Mengapa? Itu nanti ceritanya.

Nama "Justus" sendiri sebetulnya diambil dari nama kampung halaman Bapak Direktur yang konon falsafahnya adalah keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh warga. Mirip juga ya dengan kata Bahasa Inggris "justice" yang berarti "keadilan".

Di seluruh Bobrokan Asih tidak ada yang bisa memproduksi jus seperti Jus Justus. Bukannya tidak ada yang mampu. Justru sebaliknya, banyak yang lebih mampu. Masalahnya, mesin utama yang dipakai untuk mengolah buah-buahan yang berwarna warni menjadi bening bagaikan air ledeng itu dikuasai oleh negara. Hal tersebut berlandaskan pada undang-undang Negeri Bobrokan Asih yang berbunyi:

"Tanah, hujan, buah-buahan, dan jus, dikuasai oleh negara."

Kalau dikuasai negara, memangnya kenapa? Pasti kau bertanya seperti itu. Begini, Bapak Direktur Justus punya hubungan sangat erat dengan para pemimpin negara. Jangan tanya, hubungan seperti apa. Akupun tak tahulah. Pokoknya, ada hubungan.

Nah, kalau kata si bule nih ya, Bapak Direktur itu jadi dapat privilege untuk menjalankan mesin pengolah buah-buahan karena punya hubungan khusus. Tak sedikit sebenarnya yang menentang keras kekuasaan yang diberikan kepada Bapak Direktur ini. Ya iyalah, Bapak Direktur ini ya, sekolahnya itu jurusan tukang las solder. Masakan tukang las jualan jus?

Namun latar belakang sekolah tukang las solder itu nampaknya tidaklah sia-sia. Hubungan Bapak Direktur dengan para petinggi negara dilasnya sedemikian eratnya hingga tak dapat dilepaskan oleh siapapun atau apapun. Mantap tenan pisan sungguh!

Suatu hari, Bapak Direktur berdoa begini:

"Ya Robb...beri aku kesehatan dan kekuatan, agar aku bisa membantu mewujudkan mimpi orang-orang di sekitarku."

Serta merta para Kepala Cabang serentak menyahut, "Amiiin!"

Sementara mereka mengawasi para bawahan mereka mengisi kaleng-kaleng jus, tak hentinya mereka mengaminkan doa Sang Direktur. Pada kaleng-kaleng jus itu tertera "Isi nett 250 ml", sedangkan isi sesungguhnya hanya 200 ml. Dalam perhitngan neraca rugi laba, nilai penjualan yang tertera adalah untuk produksi sebanyak 250 ml per kaleng. Biaya bahan baku dihitung senilai 250 ml per kaleng, sedangkan pada kenyataannya bahan baku yang dikeluarkan hanya sebesar 200 ml per kaleng.

Sudah beberapa konsumen yang menyadari bahwa isi bersih kaleng Jus Justus sebenarnya bukan 250 ml. Namun setiap kali ada konsumen yang memprotes kenyataan tersebut, Kepala Cabang hanya tertawa-tawa. Katanya,

"Mana kami tahu? Bukankah Ibu sendiri yang membuka kalengnya?"

"Ya saya buka dan tuangkan ke gelas ukur, ternyata hanya 200 ml isinya, Pak."

"Baju Ibu basah tidak waktu itu? Mungkin 50 ml itu tumpah ke baju Ibu sewaktu membuka kalengnya."

"Saya sudah pastikan waktu itu baju saya kering, sepatu saya kering, di bawah meja dan kursi juga tidak ada tumpahan jus."

"Ibu kan pakai kipas angin di rumah. Pasti tersedot oleh angin, Bu."

"Masakan kipas angin bisa menyedot sampai 50 ml cairan dalam sekejap tanpa bekas?"

"Huahahaha! Ya bisa saja, Bu!"

Konsumen Justus merasa bahwa alasan yang diungkapkan Bapak Kepala Cabang itu bukan saja mengada-ada, tetapi keterlaluan. Mungkinkah Bapak Kepala Cabang memang sudah tahu bahwa isi kaleng sesungguhnya adalah 200 ml?

Dengan rasa penasaran yang menggunung, Konsumen Justus melayangkan surat pengaduan kepada Bapak Direktur. Akan tetapi, jawaban yang diterima Konsumen Justus semakin membuatnya bingung alang kepalang. Begini kata Bapak Direktur,

"Saya tidak mungkin memberi harga diskon kepada Ibu. Kalau saya menjual 250 ml jus dengan harga 200 ml, saya bisa dipenggal oleh Presiden Bobrokan Asih."

"Pak Direktur," kata Konsumen Justus. "saya bukan minta keringanan harga. Saya menyampaikan keberatan akan isi kaleng yang tidak sesuai dengan tulisan yang tertera pada kaleng."

Jawab Direktur Justus, "Ibu ini koq susah diajak mengerti ya? Kalau Ibu mau minta kaleng jus yang Ibu beli itu diganti, nanti saya suruh staf saya mengantarkan satu kerat kaleng ke rumah Ibu. Kapan Ibu bisa?"

Jangan-jangan Bapak Direktur juga tahu bahwa isi bersih kaleng Justus tidak sesuai dengan angka yang tertera pada kalengnya, pikir Konsumen Justus.

***** 

"Ya Robb...beri Bapak Direktur kesehatan dan kekuatan, agar beliau bisa membantu mewujudkan mimpiku," doa Bapak Kepala Cabang dengan tambah semangat.

Konsumen Justus turut serta mengaminkan. "Amiiinnn!" ucapnya dengan kesungguhan penuh.

Suami Konsumen Justus memandanginya dengan heran teramat sangat. "Bukankah kau merasa ditipu, karena membayar seharga 250 ml jus, sedangkan yang kau minum hanya 200 ml?"

"Tentu saja!" tandas istrinya berapi-api.

"Lalu? Mengapa kau aminkan doanya? Bukankah kau juga merasa jijik dengan gaya hidup Bapak Direktur yang kelihatannya soleh, tetapi membiarkan hak konsumennya tertindas?"

"Lha, aku kan juga orang yang taat beragama. Memangnya Bapak Direktur saja yang taat beragama?"

"Iya, iya, aku tahu. Itulah juga sebabnya aku menikahimu dulu, karena kau wanita yang taat beragama."

"Nah! Bapak sudah tahu.  Kenapa pula sekarang Bapak bingung?"

"Ah istriku... kau memang wanita yang sangat soleh. Bagi orang yang sudah merugikan bahkan mempermainkanmu, kau masih turut mendoakan agar dia sehat dan kuat. Sungguh, aku bangga padamu."

Sang istri pura-pura tidak dengar dipuji. Ia asyik mempersiapkan dua cangkir kopi. Ya memang konon wanita itu bisa multitasking.

"Tadinya aku pikir," lanjut Sang Suami lagi. "kau akan mendoakan Bapak Direktur biar cepat mampus. Kalau perlu, biar terlindas buldozer dan dibuat jus. Kan tubuh manusia itu 90 persen terdiri dari air. Jadi..."

"Ih, Bapak apaan sih?! Horor sekali ceritanya! Nanti malam aku tidak bisa tidur nih membayangkan itu. Sudah ah! Kalau mau bikin cerita horor, di kantor saja!"

Sang Suami cekikikan sambil menyeruput kopinya. Hampir saja tersedak ia.

"Idih! Ketawa jangan seperti itu ah!" protes Sang Istri.

"Lho, kenapa?"

"Mirip ketawanya Bapak Kepala Cabang Justus. Jijik aku!"

"Duh, kata pujangga siapa ya... wanita itu penuh misteri."

"Ah, kata lagu dangdut kali, Pak."

"Terserah deh."

"Ya sudah itu kopinya diminum. Nanti isinya menguap tersedot kipas angin."

"Tuh, kan. Kau ini nadanya selalu minor bin sinis perihal Justus. Kenapa malah kau aminkan doa para Kepala Cabang itu?"

"Pak, makanya jangan kebanyakan nonton film horor. Otak jadi tumpul."

Hampir saja Sang Suami cekikikan lagi, tetapi ditahannya.

Lanjut Sang Istri alias Konsumen Justus, "Pak, aku percaya keadilan Allah akan dinyatakan suatu saat. Pasti."

"Amin!" sambut Sang Suami.

"Nah, kalau Bapak Direktur sakit, dia akan punya alasan untuk tidak hadir di sidang pengadilan. Ya aku tahu, kelihatannya almustahil sekali Bapak Direktur diseret ke pengadilan. Didemo saja tidak mempan. Tapi kan siapa tahu? Sudah bukan sekali dua kali saja seorang pejabat gagal diadili dengan alasan sedang sakit. Contoh paling besar adalah mantan presiden negeri ini. Keputusan peradilan jadi mengambang karena beliau sudah keburu sakit dan menghembuskan nafas terakhir. Aku tidak mau itu terjadi pada Bapak Direktur Justus. Aku mau dia sehat dan kuat, biar tidak punya alasan untuk tidak hadir di sidang pengadilan.

Aku juga mau dia panjang umurnya, supaya ketika keadilan Allah dinyatakan atas dirinya, orang-orang di sekitarnya bisa menyaksikan."

Sang Suami manggut-manggut. Wanita itu memang penuh misteri. Pantas saja tidak suka film horor. Lha, dirinya sendiri sudah merupakan sebuah misteri. Pantas pula film-film horor di Bobrokan Asih semakin marak laku keras. Lha, mereka semua suka wanita!

Jangan Percaya Kata "Akumulasi"!

Sudah sering kita dengar cerita pelanggan air dan/atau listrik dikagetkan oleh tagihan yang sangat tinggi. Setelah dikonfirmasikan, diberi jawaban bahwa angka tagihan tersebut merupakan akumulasi dari bulan-bulan sebelumnya, karena pencatatan angka meter di bulan-bulan sebelumnya salah. Jangan begitu saja percaya!

Segera PERIKSA SEGEL stan meter air dan/atau listrik. Putus atau tidak?

Jika ternyata putus, segera laporkan dan MINTA GANTI! Kalau prosedurnya lalu menjadi berbelit-belit, komunikasi jadi janggal, alasan "salah catat", "akumulasi", dan serupanya, patut dicurigai.

Untuk memastikan tidak terjadi alasan "akumulasi", pastikan sebagai berikut:
  1. Jangan biarkan bak kontrol air dan/atau boks PLN dalam keadaan terbuka. Kunci! Gembok!
  2. Untuk kepentingan pencatatan para petugas pencatat meter, gunakan papan stan meter yang ditempel di tembok atau pagar.
  3. Catat sendiri selisih kenaikan pemakaian setiap bulannya. Jangan percayakan saja pada petugas pencatat meter!
  4. Simpan catatan angka stan meter setiap bulannya sampai dua tiga tahun.
  5. Periksa angka akhir stan meter yang tertera pada rekening itu apakah sama dengan yang sudah dicatat. Kalau berbeda jauh, segera laporkan. Lagi-lagi, kalau prosedurnya lalu menjadi berbelit-belit, komunikasi jadi janggal, jangan ragu untuk curiga!
  6. Jika ada petugas mau memeriksa stan meter, dampingi terus! Perhatikan apa yang dilakukan. Jangan ditinggalkan ngoprek-ngoprek sendiri di luar.
  7. The last but not the least, jangan terlalu percaya pada sekuriti kompleks rumah sendiri. Tetap perhatikan poin 1 sampai 6 di atas. Siapa tahu saja "iuran" petugas PAM/PDAM/PLN kepada mereka lebih besar daripada iuran kita.
Jika Anda menempati rumah baru, baik sebagai penghuni pertama ataupun penghuni berikut, pastikan:
  1. PERIKSA SEGEL stan meter air dan/atau listrik, putus atau tidak?
  2. Catat angkanya berapa yang tercantum di fisik stan meter. 
  3. Kalau Anda bukan penghuni pertama, minta rekening terakhir PAM dan PLN dari penghuni sebelumnya. Pastikan selisih angka akhir meteran yang tertera di rekening tidak terpaut jauh dengan angka aktual pada fisik stan meter.
  4. Matikan semua aliran air/listrik. Tunggu beberapa saat. Amati apakah jarum stan meter berhenti. Jika tidak juga berhenti, ada kemungkinan ada kebocoran instalasi.

Apa yang telah saya alamilah yang membawa saya untuk tergerak memperingati siapa saja di luar sana. Segel stan meter air saya putus tanpa saya ketahui, dan angka stan meternya naik sebanyak 533 angka hanya dalam waktu 1 bulan.


Ketika saya menghadap ke kantor cabang, saya ditanya:
  1. Apakah ini rumah ibu sendiri?
  2. Apakah rumah ini ibu tempati sendiri?
  3. Apakah ibu menempati rumah ini sejak awal?
Jawabannya semua "ya". Sudah bisa ditebak ke mana arahnya jika salah satu dari pertanyaan itu ternyata jawabannya adalah "tidak".

Cuaca di Negeriku Bukan Sebenarnya

Momotaro-san (bukan nama sebenarnya), memintaku mencarikan data statistik banjir di India (bukan negara sebenarnya) tahun 2010 dan 2011. Katanya, dia sudah tanyakan, baik pada Mister Google maupun pada Google-san, mereka tidak punya data. Barangkali saja, katanya lagi, Mbah Google punya datanya.

Mbah-mbah Google dari Serpong (bukan tempat sebenarnya) sampai Mekong (bukan tempat sebenarnya juga) aku tanyai. Nihil. Kalau ramalan ada. Kalau aktual, tidak ada. Demikian pula pada situs Badan Metro Koq Gede (bukan badan sebenarnya). Barangkali belum diunggah oleh BMKG, pikirku.

Pukul 15:30 ketika itu. Aku telepon ke nomor telepon yang tertera pada situsnya. Nada sambung terus sampai akhir.

"Momotaro-san," kataku. "Tidak ada ya. Di internet tidak ada. Ditelepon tidak diangkat."

"Coba cari lagi di internet. Masa sih tidak ada? Kalau di Jepang (negara sebenarnya) data seperti itu pasti mudah sekali dicari."

"Cuaca di India dan cuaca di Jepang beda ya, Momotaro-san."

Setengah jam kemudian Momotaro-san memanggilku yang sedang asyik bertatap muka dengan komputer. "Apakah sudah dapat?"

"Dapat apa, Momotaro-san?"

"Data banjir itu tadi."

"Oh itu. Sudah saya cari lagi. Tetap saja tidak ada ya, Momotaro-san."

"Apakah memang tidak pernah dicatat ya?" tanya Momotaro-san.

"Saya rasa dicatat..." jawabku ragu.

Melihat bahwa lokasi BMKG singkatan Badan Metro Koq Gede itu tidak jauh dari lokasi kantor kami, aku menawarkan diri untuk pergi ke BMKG mendapatkan data tersebut.

"Bagus. Kebetulan besok saya dinas ke luar kota. Kamu bisa pakai mobil saya untuk ke sana," sahut Momotaro-san. Katanya lagi, "Kalau sudah dapat datanya, tolong email-kan kepada saya secepatnya, supaya bisa saya cek saat di luar kota."

"Hai, ryoukai desu."
#####

Di gerbang masuk BMKG, kepada sekuriti: "Saya dari Bintang Motor (bukan perusahaan sebenarnya). Kami butuh data tentang banjir."

Jawab sekuriti, "Lurus saja, Bu. Lalu belok kanan, lurus, gedung yang baru di seberang mesjid."

Di bagian penerima tamu: "Selamat pagi, Pak," sapaku.

Ketiga petugas berseragam yang duduk di balik meja menatapku dengan semangat. "Bisa dibantu, Bu?" tanya yang duduk di tengah.
"Saya dari Bintang Motor, Pak. Untuk pengembangan penelitian di tempat kami, kami perlu data banjir tahun 2010 dan 2011."

"Silahkan ke Bagian Humas, Bu. Nanti akan diarahkan dari sana."

"Bagian Humas di mana ya, Pak?"

"Pak Baday (bukan nama sebenarnya juga)!" panggil sekuriti yang duduk di tengah.

Seorang bapak di belakangku menengok dan melayangkan pandangan bertanya.

"Ini, Pak," ucap sekuriti dengan mengarahkan telapak tangannya kepadaku.

"Oh," sahut Pak Baday penuh pengertian. Tanpa bertanya apa-apa, aku dipersilahkan Pak Baday masuk ke ruang disebelah meja penerima tamu.

Pak Baday mempersilahkan saya duduk di belakang meja di sebuah ruang kerja. Saya jelaskan keperluan saya.

"Oh kalau itu harus ada surat pengantarnya dulu. Ada?"

"Belum ada, Pak. Surat pengantarnya ditujukan kepada siapa ya, Pak?"

"Ditujukan kepada... kepada... " Pak Baday melayangkan pandangannya ke luar pintu. "Ke Kabag Humas saja."

"Ada nama yang harus saya cantumkan? Kepada siapa, begitu?"

"Ada, ada. Mestinya ada." Pak Baday melayangkan pandangannya ke luar lagi.

"Biar saya tidak bolak balik, saya catat saja namanya, Pak."

"Kita pindah ke sana saja, yuk." Pak Baday berdiri. "Di sini AC-nya terlalu dingin."

Pak Baday mempersilahkan saya ke ruangan yang seperti ruang tamu. Kami duduk di sofa.

"Jadi ditujukan kepada siapa, Pak?"

"Sebentar. Itu staf saya sedang telepon. Saya tidak ingat namanya."

Sesaat kemudian, "Tin, Tin... " panggil Pak Baday kepada seseorang di luar. Datanglah Bu Rintintin (bukan nama sebenarnya juga pasti). Beliau berdiri sambil bersandar di pintu. Pak Baday menjelaskan keperluan saya. Lalu, "Surat pengantarnya ditujukan ke mana ya? Humas kan ya?"

"Ya, ke Humas saja." Bu Rintintin mengangguk mantap.

"Ditujukan kepada siapa? Perlu pakai nama?" tanyaku.

"Tidak perlu. Kabag Humas saja," demikian kudengar.

Kata Pak Baday lagi, "Lalu itu ada transaksinya ya?" sambil melihat kepada Bu Rintintin dengan nada bahwa pertanyaan itu sudah pasti 'iya' jawabannya.

"Benar, benar." Anggukan Bu Rintintin semakin dalam.

"Transaksinya berapa, Pak?" tanyaku.

"Tidak tahu. Bikin saja dulu suratnya."

"Tapi kan saya pasti ditanya berapa transaksinya."

"Belum, belum. Itu nanti. Jadi nanti bawa saja dulu ke sini suratnya. Kita proses datanya. Datang ke sini ambil datanya, baru transaksi."

"Berapa lama datanya bisa saya ambil, Pak?"

"Jamaika (bukan kota sebenarnya) saja kan?"

"Maunya sih seluruh India, Pak."

"Kalau seluruh India, agak lama. Kalau untuk Jamaika (bukan juga kota sebenarnya) saja bisa cepat."

"Nanti siang saya kembali sini bawa suratnya, bisa ya, Pak?" tanyaku lagi.

"Yaaa... bisaaa..."

"Di sini tutup jam berapa?"

"Jam empat."

"Oh, jam empat." Baru saja aku menarik napas lega, kudengar,

"Tapi yang bagusnya itu pagi. Jam 9-an, begitu. Besok saja ke sini lagi."

"Kalau siang ini?"

"Yaaa, jam satu jam dua ya. Sebelum jam dua," ujar Pak Baday sementara Bu Rintintin sudah berpamitan kembali ke singgasananya.

"Ini bukan pungutan liar lho," kata Pak Baday tiba-tiba. "Memang sudah ada resmi tarifnya. Masuk ke kas negara."

"Jadi berapa ya biayanya, Pak?"

"Tidak tahu, tidak tahu."

"Baiklah, nanti siang saya ke sini lagi," kata saya sambil bangkit berdiri.

Seraya berjalan keluar ruangan, Pak Baday yang berjalan di belakang saya bertanya, "Naik apa ke sini?"

"Naik di depan," jawabku.
#####

Kembali ke kantorku, kepada direktur lokal kujelaskan bahwa aku butuh surat pengantar dari beliau sehubungan dengan permintaan Momotaro-san.

Dahi Pak Direktur berkerut seperti kembang tahu yang suka disop itu. "Ah, nggak usahlah! Pasti nanti ada biayannya segala!"

"Memang ada transaksinya, katanya, Pak," sahutku.

"Nah! Itu makanya! Bilang sama Momotaro-san: Di sini buat cari yang begituan harus pakai duit!"

Giliran saya yang bingung bagaimana menerjemahkan kalimat ini ke dalam Bahasa Jepang. Hontou wa hazukashii naa...

Cuaca dan air di negeriku, agak-agaknya serumpun.


Di kota yang sebenarnya, 4 April 2012

Boosting My Spirit

 Means of boosting my spirit before taking Mandarin Class:



 Chicken soup and coffee milk. The most budget meal.

Red rice sushi with chicken chunk fillings.

Salmon sashimi. The highest cost meal.

Di Kampung Harapan Bersih


1. "Dasar Orang Ya, Pak."
Bapak Ibu Tikus, Miki dan Mini, sama parahnya dengan orang Kampung Harapan Bersih dalam mendidik anak-anak mereka. Jika orang-orang dewasa di Kampung Harapan Bersih tidak pernah mendidik anak-anaknya untuk tidak mencoret-coret tembok tetangga, masuk ke pekarangan tetangga tanpa permisi, mencabut tanaman tetangga, atau menaiki mobil tetangga, Miki dan Mini pun tidak pernah mendidik anak-anak mereka untuk tidak mengunyah makanan yang bukan dibawa oleh Bapak dan Ibu. Alhasil, Tikus menggerogoti tempat sampah, keset, pipa, lemari, sabun, pokoknya apa saja yang bisa dimakan, tidak pandang bersih atau menjijikkan, disikatnya. Ketika perut sudah kenyang dan malam sudah larut, mereka beramai-ramai lari berkejar-kejaran masuk ke plafon rumah orang. Inilah taman yang paling indah, tempat bermain dan berteman banyak.

Demikianlah, tikus berkelakuan persis seperti manusia dan manusia pun terpaksa hidup damai dengan tikus. Berhubung anak-anak mereka sama dengan anak-anak tikus, jika ada yang mendapati kesetnya robek atau selang di tamannya bolong, tidak ada yang berani mempersalahkan anak tikus. Siapa tahu itu kerjaan anak orang, bukan?

Pernah suatu kali Pak Koko pulang ke rumah mendapati kap mobilnya baret-baret. Sedannya yang sudah berdempul ria di sana sini, semakin terlihat penyok-penyok di bawah sinar matahari yang sedang terik itu. Asisten rumah tangga Bu Inge yang sedang ngobrol dengan tukang bakso langsung menaikkan volume suaranya:

"Tikus-tikus di sini brengsek! Naik-naik ke mobil bikin baret saja!"

Bapak Miki dan Ibu Mini yang sedang tidur-tiduran di sela dus susu hanya dapat menggoyang-goyangkan ekornya. Sebenarnya anaknya Bu Ingelah yang habis main perosotan di atas mobil Pak Koko, dengan ditemani asisten rumah tangganya itu tentunya. Kalau dilarang kan nanti nangis dan dia sendiri yang repot.

Parahnya, anaknya Bu Inge ini pernah diramal akan jadi pemimpin. Jadilah Si Tika yang baru berumur 3 tahun itu sudah pandai mengajak anak-anak tetangga lain ikut main perosotan di atas mobilnya Pak Koko. Lalu dia naik ke atas atap mobil Pak Koko dan menghentak-hentakkan kakinya sambil memandang berkeliling, layaknya memimpin sebuah kampanye. Sementara itu, Jaya, 1,5 tahun, anaknya Pak Rusli, digendong oleh pengasuhnya dan diletakkan di atas kap mesin mobilnya Pak Koko. Jaya pun mengambil posisi sembah sujud sambil menengadahkan kepalanya ke arah Tika yang sedang mempersiapkan pidatonya. Diko, 4 tahun, yang sudah manjat sendiri dari bemper, merasa jalannya dihalangi oleh Jaya yang gendutnya mengalahkan bakpao. Jadi dia raih tangkai spion sebagai pegangan. Sementara kaki kiri berpijak di atas kap mesin, beberapa senti di belakang pantat Jaya, Diko melangkahkan kakinya tinggi-tinggi melewati kepala botak Jaya lalu menekan pijakannya pada kaca mobil dan membiarkan tumitnya diganjal wiper. Akhirnya... berhasil juga Diko berdiri di samping Tika di atas atap mobil. Tak mau kalah, ia hentak-hentakkan juga kakinya.

Bu Mini menggoyang-goyangkan ekornya sekali lagi. "Dasar orang ya, Pak," katanya kepada Pak Miki.

Anak-anak Tikus selalu tak sabar menanti matahari terbenam. Bukan, bukan untuk difoto! Kalau hari sudah gelap, ayah mereka sudah bersiap-siap menyambangi selingkuhan-selingkuhannya. Saat itulah mereka bebas latihan menyelam di selokan yang sarat dengan berbagai mainan menarik bagi mereka: bungkus permen, bungkus makanan ringan, kotak minuman, sampai boneka, mobil-mobilan, maupun bola, yang karet, yang plastik, yang bisa ditiup... uhhh, banyak deh pokoknya. Senangnya bisa meraup banyak tanpa perlu kerja. Senangnya jadi tikus.

Kejantanan Pak Miki yang tak kenal akhir, semangat biologis Bu Mini dan kaumnya yang merasa mengemban tanggung jawab melestarikan masyarakat tikus, motivasi hidup seperti manusia yang tertanam di dalam setiap anak tikus ketika membuka mata untuk pertama kalinya di atap rumah orang, membuat generasi tikus berkembang pesat memenuhi Kampung Harapan Bersih. Tinggallah bersih itu sebuah harapan.

2. Arti Sebuah Nama
Sebetulnya yang paling disegani di Kampung Harapan Bersih adalah Kucing. Kucing tahu benar hal ini. Maka dia pun mencalonkan dirinya sebagai Raja Kampung Harapan Bersih. Memang yang biasanya jadi raja itu harimau. Namun karena lokasi Kampung Harapan Bersih itu bukan di hutan, tapi kampung sekali juga bukan, kota pun bukan, maka tidak adalah harimau seekor pun di Kampung Harapan Bersih.

Sebentar, Kucing itu disegani oleh orang Kampung Harapan Bersih, tetapi bukan oleh para binatang. Ularlah yang paling ditakuti oleh para binatang. Apapun yang didesiskan oleh Ular pasti akan dituruti dengan sempurna oleh binatang lainnya. Susahnya, sedikit saja ujung ekor Ular terlihat oleh manusia di Kampung Harapan Bersih, pastilah dia dihantam habis-habisan. Maka, Ular yang cerdik itu turut mengusung Kucing untuk menang dalam pemilihan Raja Kampung Harapan Bersih. Sementara Kucing hilir mudik dengan gagahnya dari satu tembok rumah ke tembok rumah lain, keluar masuk gang, sesungguhnya Ularlah yang menjadi pemegang kemudi. Bagi Ular, nama bukan segalanya.

Kucing yang merasa berhutang budi pada Ular yang telah membuka kesempatan baginya, senantiasa membagi tikus tangkapannya dengan Ular. Dengan bebasnya Kucing mondar mandir tanpa diusir manusia, bebas pula dia berburu tikus. Ular pun tinggal menunggu di tempat persembunyiannya. Di lain pihak, Kucing sebagai distributor bagi Ular menjadi bebas dari dimangsa Ular.

Di dasar lubuk hatinya, sesungguhnya Kucing tidak puas dengan keadaannya. Ketika dengan gagahnya dia membacakan sebuah keputusan sambil sesekali menyeka kumis panjangnya, dia melihat sosok boneka kucing. Melawan Ular? Siapa berani? Sebaliknya, kalau bukan karena Ular, mana bisa dia jadi seperti sekarang ini? Keluar dari Kampung Harapan Bersih pun ia tak berani, karena di luar sana anjing-anjing berkeliaran dengan bebasnya. Bahkan, konon ada anjing yang tiga kali lebih besar dari Kucing badannya.

Setiap kali Kucing melihat Tikus lewat, segeralah terlintas bayangan Ular yang sedang melingkar manis di tempat persembunyiannya menunggu upeti dari Kucing. Maka Kucing mengejar Tikus lalu menyergahnya dengan kedua cakar depannya. Dia angkat Tikus ke atas sedikit, lalu dia gigiti leher tikus terus di sekelilinginya. Namun dia berhati-hati untuk tidak menggigit terlalu dalam. Tiba-tiba dia lepaskan kedua cengkramannya. Tikus pun terjatuh ke tanah. Tergopoh-gopoh Tikus berlari sementara tetesan darah kecil-kecil merembas di sela-sela lehernya.

Ketika Tikus berpikir dia sudah selamat, Kucing tiba-tiba melompat ke arahnya. Sekali lagi cakar Kucing mencengkram tubuhnya. Kucing angkat Tikus sedikit ke atas. Tetapi kali ini dia menggigit ekor Tikus sekadar cukup untuk ditenteng Kucing berjalan. Kini dengan posisi keempat kaki dan kepala menghadap ke atas, punggungnya terseret-seret di tanah.

Lagi-lagi tiba-tiba Kucing merenggangkan rahangnya, sehingga ekor Tikus terlepas. Tikus pasrah. Pastilah kini Kucing akan mencabik-cabik perutnya. Dengan posisi keempat kaki masih di atas, Tikus menanti. Kucing berjalan mundur dua langkah. Ditatapnya Tikus lekat-lekat. Tikus masih menanti. Kucing berjalan mundur lagi satu langkah dan menoleh ke belakang.

Perlahan-lahan Tikus membalikkan tubuhnya. Ah, ternyata aku masih kuat berjalan, pikirnya. Satu kaki depannya dia angkat, kemudian satu kaki belakangnya. Tikus mencoba mengendus-endus mencari arah pulang ke rumahnya.

Tiba-tiba...! Sebuah beban yang sangat berat jatuh ke atas tubuhnya. "Ciiittt... ciiiittt..." pekiknya.

Ujung-ujung kumis Kucing melambai-lambai di udara. Ia menyeringgai puas.

Tidaklah heran jika doa setiap tikus di Kampung Harapan Bersih adalah: "Biarlah aku mati di mulut Ular daripada di cengkraman Kucing."

Doa itu kadang terkabul, kadang... juga terkabul. Begini maksudnya: kadang Kucing menangkap Tikus dengan cengkramannya, lalu langsung membawanya kepada Ular. Tetapi ada kalanya juga Kucing menangkap Tikus, menyiksanya, mempermainkannya, melepaskannya, lalu menyiksanya lagi, sampai meskipun masih hidup, sudah tak berdaya lagi. Lalu Kucing membiarkan Tikus tergeletak dan pergi memangsa Cicak. Setelah Kucing puas menggigiti Cicak dengan tentunya mempermainkannya dulu sebelumnya, Kucing kembali ke tempatnya Tikus untuk membawanya kepada Ular. Akhirnya Tikus memang matinya di mulut Ular.

3. Hello Kucing
(bersambung)




Doa Bapak Petinggi

ya Allah, jika Engkau berkehendak
Engkau akan ciptakan sebabnya
Engkau pun beri kekuasaan pada siapa
yang Engkau kehendaki

demikianlah di muka umum
Bapak Petinggi berdoa
kumis hitam melintangnya
membuatnya semakin tampak soleh

sementara jemaah berdesis
amin ya Rob...
di pintu luar seorang anak menangis
karena bolanya terlindas mobil Bapak Petinggi

Pak, saya tidak punya bola lagi
iba anak itu ketika Bapak Petinggi berjalan keluar
meski seratus bola mampu dia beli, katanya:
tentulah Allah berkehendak bolamu terlindas

amin ya Rob...
desis mereka yang mengikuti dari belakang
Engkau berikan kekuasaan pada siapa
yang Engkau kehendaki

mobil Bapak Petinggi melaju pergi
namun dia tentunya tak henti berdoa:
ya Rob.., ampuni kesalahan kami
dan jangan Kau tolak permohonan kami

ayah, ayah, tadi aku gambar surga lho
sambut anaknya setibanya ia di rumah
gambar surga? ah, kau memang anak yang soleh
sambut Bapak Petinggi bangga

sederetan manusia berbadan kotak penuh tombol
yang kepalanya sama semua, terpampang di pangkuannya
hmmm... bagus, bagus. yang gambar surga mana?
pinta Bapak Petinggi dengan tak sabar

ya ini gambar surga, ayah!
Bapak Petinggi menunjuk salah satu manusia kotak
lalu ini siapa?
ini kan robot semua, ayah!


Bekasi, 12 Maret 2012

Pride and Prejudice in Heptunus


1. Satu Kerajaan di antara Dua Negeri
Di seantero dunia bawah laut yang mahaluas itu, berdirilah sebuah kerajaan. Namanya, Kerajaan Heptunus, termahsyur bukan hanya di bawah laut saja, melainkan juga sampai ke daratan luas tempat tinggal manusia. Memang, hanya satu visi Kerajaan Heptunus: Menyenangkan Manusia. Tidak mengherankan, bukan? Sepanjang tahun, kapal-kapal penangkap ikan dari berbagai penjuru bumi, mendekati permukaan laut yang terbentang di atas Kerajaan Heptunus. Konon, kondisi Kerajaan Heptunus yang strategis letaknya dan lagi kaya raya itu, pernah menjadi wilayah sengketa antara dua negeri besar di daratan bumi, yaitu Negeri Doni dan Negeri Panji. 

Negeri Doni kuat karena jumlah penduduknya yang besar. Sudah banyak jumlahnya, kemampuan otak per manusianya pun boleh diadu dengan kemampuan komputer tercanggih yang ada di muka bumi. Intrik-intrik rumit yang tak terpikirkan di negeri lain, di Negeri Doni sudah jadi permainan sehari-hari. Oleh karena itulah, sekali demo saja ngerinya bukan kepalang. 

Sebaliknya, Negeri Panji, jangan ditanya berapa jumlah penduduknya. Negeri ini kecil dan miskin. Keperluan sehari-harinya harus dibeli dari negeri-negeri lain. Itupun salah satu alasan mengapa mereka mati hidup mempertahankan Kerajaan Heptunus. Mereka harus makan.

Pastilah pembacaku sekarang bertanya, lalu apakah yang membuat Negeri Panji sedemikian kuatnya sampai-sampai tentara Negeri Doni yang berkali-kali lipat banyaknya itu tidak juga sanggup mengenyahkan nelayan Panji dari wilayah air di atas Kerajaan Heptunus? Jawabannya sederhana: watak.

Akhirnya, Negeri Doni dan Negeri Panji sama-sama berkuasa atas Kerajaan Heptunus. Kadang nelayan dari Negeri Doni hanya bisa menatap pasrah ketika kapal-kapal besar milik Negeri Panji melemparkan jala raksasanya di atas Kerajaan Heptunus. Tidak ada seorang nelayan pun di Negeri Doni yang punya jala sebesar itu. Tidak, tidak! Mereka mampu membuatnya. Tetapi, tidak pernah selesai. Pernah memang satu kali sebuah jala raksasa selesai dibuat dan kapal pengangkutnya dengan bangganya diberi nama "Transjala". Namun dalam waktu kurang dari satu Sabi – satuan masa di Kerajaan Heptunus – jala itu sudah robek sana sini, sehingga hasil tangkapan banyak yang lolos. Nelayan-nelayan Doni pun saling mempersalahkan. Mereka bertengkar hebat di atas Transjala sampai meledaklah kapal itu. 

Ketika wartawan dari Negeri Panji bertanya apa penyebab meledaknya kapal itu, nelayan Doni dengan tenang menjawab, “Ah, hanya ban meledak saja.” 

Wartawan Panji itu pun pulang menyampaikan beritanya. Namun malang tak dapat ditolak. Dia dipecat. Rakyat Negeri Panji menganggap dia sudah tidak waras lagi. Mana ada kapal berlayar dengan ban?

Tentang sengketa antara Negeri Panji dan Negeri Doni, Kerajaan Heptunus adem ayem saja. Visi menyenangkan manusia itu tidak pandang negeri.

2. Migrasi Besar-Besaran
Pada Sabi ketiga puluh delapan, lempeng bumi bergeser dan tsunami memporakporandakan kehidupan di bawah laut. Arus yang sangat besar mendorong ataupun menyeret berbagai makhluk laut. Ada yang bermigrasi atas kehendaknya sendiri demi harapan akan kehidupan yang lebih baik, karena tempat asalnya sudah kacau balau. Ada pula yang termigrasi. Artinya, bukan atas kehendaknya sendiri. Arus besarlah yang memaksanya keluar. Mereka kemudian ikut arus, pasrah akan terbawa ke mana.

Pergeseran lempeng bumi itu membawa pendatang-pendatang baru ke Kerajaan Heptunus. Raja Heptunus menyambut mereka semua dengan gembira, karena dipikirnya, semakin banyak pendatang, semakin senanglah manusia pada Kerajaan Heptunus.

Cumi yang nama lengkapnya Cumi Suquido selanjutnya diangkat oleh Raja Heptunus sebagai Pemimpin Kelompok Nyam Nyam Panji. Kelompok Nyam Nyam Panji merupakan kelompok makhluk-makhluk laut yang menjadi konsumsi favorit Rakyat Negeri Panji, yaitu Salmon, Tuna, Belut, Makerel, Udang, dan Kerang. Tugas Cumi adalah untuk mengawasi kesehatan dan populasi dari masing-masing makhluk laut itu, supaya kapal-kapal nelayan dari Negeri Panji merasa senang berlayar di atas Kerajaan Heptunus. Dengan demikian, komunikasi antara Kerajaan Heptunus dan Negeri Panji bisa terus terpelihara.

Hampir bersamaan waktunya dengan Cumi, Kakap juga bermigrasi ke Kerajaan Heptunus. Cumi sendiri bermigrasi bersama sahabat kentalnya, Lele. Kekentalan persahabatan Cumi dan Lele melebihi kentalnya dan manisnya susu kental manis dari Negeri Doni. Kata Cumi kepada Kakap,

“Kakap, kenalkan, ini Lele. Lele juga konsumsi Rakyat Negeri Panji.”

Kakap dan Lele pun bersalaman.

Demikian juga Cumi memperkenalkan Lele kepada Salmon yang merupakan anggota kerajaan paling lama di Kerajaan Heptunus. Salmon agak terkejut. Sepanjang informasi yang diketahuinya, tidak ada dikabarkan bahwa ada yang namanya Lele masuk Kelompok Nyam Nyam Panji. Namun Salmon bersalaman juga dengan siripnya.

3. Pecel Lele, Huahahaha!
Satu Sabi lagi lewat tanpa terasa. Cumi Suquido semakin populer di Kerajaan Heptunus. Gulai gemulai tentakel-tentakelnya sungguh memukau banyak dari anggota Kerajaan Heptunus. Banyak dari antara mereka belum pernah melihat makhluk seperti itu sebelumnya. Tentakel-tentakelnya yang dicat pirang itu kadang digelung, kadang dijulurkan. Selain sepasang tentakel, Cumi juga memiliki 8 lengan. Bayangkan! Makhluk laut memiliki lengan! Tidak tanggung-tanggung, delapan pula jumlahnya! Seraya Cumi merenangi Kerajaan Heptunus, lengan-lengannya menari-nari mengikuti arus laut. Sungguh indah bak jari jemari pemain piano dari Negeri Panji.

Raja Heptunus bersyukur atas kehadiran Cumi di antara mereka. Ternyata kapal-kapal nelayan dari Negeri Doni juga suka pada Cumi. Maka, Kerajaan Heptunus bisa juga menjalin hubungan baik dengan Negeri Doni dan dengan demikian, semakin banyak manusia yang bisa disenangkan oleh Kerajaan Heptunus. Sungguh bangga rasanya. Bukankah manusia itu makhluk yang paling tinggi di muka bumi ini?
Sementara itu, Salmon telah mengetahui bahwa Lele bukan anggota Kelompok Nyam Nyam Panji. Kata Rumput Laut padanya sambil tertawa keras,

“Apa? Lele masuk Kelompok Nyam Nyam Panji?? Huahahaha! Yang aku tahu dari penyelam Negeri Doni, di Negeri Doni, Lele memang populer sebagai… duh, apa ya namanya? Sebentar…. Oh, anu! Pecel Lele!”

Kini giliran Salmon yang tertawa terpingkal-pingkal sampai mau rontok sisiknya rasanya. “Apa? Pecel Lele? Lucu sekali namanya!”

Kata Salmon lagi kepada Rumput Laut, “Kalau kau bertemu si penyelam lagi, tolong tanyakan apakah di Negeri Doni ada Pecel Salmon ya!”

“Baik, baik. Nanti aku tanyakan!” sahut Rumput Laut.

Seharian itu Salmon berenang-renang turun naik berlingkar-lingkar. Namanya ikan, bisa tertawa sambil berenang. Tertawa terbahak pula. Pecel Lele. Huahahaha!! Tubuhnya yang sudah kemerah-merahan itu menjadi semakin merah. Gelembung-gelembung udara akibat tawanya itu meninggalkan jejak berbentuk angka 8 di laut laksana pesawat tempur Negeri Doni ketika berdemonstrasi di angkasa.

Setelah seharian dihabiskan untuk tertawa, Salmon beristirahat di Café Terumbu Karang yang banyak sekali jendelanya itu. Salmon suka sekali tempat ini. Dia paling suka bersandar dekat jendela sambil menikmati pemandangan kehidupan Kerajaan Heptunus berlalu di depan matanya.

“Hah… kenapa ya Cumi harus memperkenalkan Lele kepadaku sebagai anggota Kelompok Nyam Nyam Panji?” tanya Salmon pada dirinya sendiri. “Apa maksudnya? Apa tujuannya?”

4. Misteri Tinta Hitam
Dua Sabi pun lewat. Cumi semakin menunjukkan otoritasnya atas Kelompok Nyam Nyam Panji. Menurut Cumi, Salmon kurang aktif memimpin gerombolannya untuk mendekati kapal-kapal nelayan dari Negeri Panji. Begini persisnya kata-kata Cumi kepada Salmon,

“Kamu ini sudah susah dicari, sekalinya didapatkan, susah dimasaknya pula! Kamu membuat koki harus kerja ekstra dengan membersihkan sisik-sisikmu sebelum disajikan. Puft, terpaksa kamu harus dijual mahal di beberapa tempat. Apalagi kalau kamu disajikan mentah. Mahalnya kamu itu tidak sepadan dengan rasa kenyang yang kamu berikan. Puft!” Garis-garis alur hitam kebiruan mulai terlihat di antara Cumi dan Salmon. 

Sebelum kejadian pergeseran lempeng bumi, Salmon tidak pernah melihat makhluk laut yang kalau berbicara bisa mengeluarkan air liur berwarna hitam kebiruan seperti itu. Maka lagi-lagi Salmon pergi bertanya kepada Rumput Laut yang sedang bergoyang.

“Oh… itu bukan air liur,” jelas Rumput Laut.

“Bukan air liur, lalu apa dong?” tanya Salmon lagi.

“Itu tinta.”

“Tinta? Bicara koq pakai tinta sih?”

“Tinta itu Cumi keluarkan bukan hanya ketika berbicara, melainkan ketika ia merasa terancam.”

“Terancam??” Salmon semakin bingung sekarang. Terancam oleh siapa? Sudah jelas-jelas Cumi adalah pemimpin Kelompok Nyam Nyam Panji. Seluruh anggota Kerajaan Heptunus pun menyanjungnya. 

Masih pada Sabi yang sama, dalam rangka menjaga populasi Kerajaan Heptunus, Raja Heptunus menggelar sebuah seminar bertema tentang bagaimana menjaga kesehatan sisik. Cumi dengan penuh rasa percaya diri mengajukan dirinya sebagai pembicara. Yang jelas-jelas bersisik itu Salmon. Namun siapa berani tak mempercayai Cumi?

“Salam Sabi, semuanya!” ucap Cumi sementara tentakelnya dibiarkan terjulur sepanjang tubuhnya. “Nama saya Cumi Suquido.”

“Hihihi…. Suquid! Mama, mama, dia tidak bisa mengucapkan ‘squid’!” Anak Teri cekikikan. 

Mama Teri cepat-cepat menyepak mulut anaknya dengan ekornya. “Hush! Jangan berkata seperti itu! Itu nama dari Negeri Bule.”

Untung saja Teri, apalagi anaknya, terlalu kecil untuk terdengar cekikikannya oleh Cumi yang sedang berceramah di podium yang dibangun dari terumbu karang berwarna warni itu.

Cumi menjuntai-juntaikan lengan-lengannya satu persatu. Para hadirin berdecak kagum pada bulatan-bulatan penghisap yang  berderet-deret sepanjang lengan-lengannya. “Wow! Besar-besar sekali sisik-sisiknya!”

Sementara itu Lele sibuk mengabadikan Cumi dengan kamera. Wow…! Kamera itu dulunya terlepas dari tangan seorang penyelam Negeri Doni ketika dia ketakutan melihat Lele yang berbadan lebih besar dari badan anaknya yang baru masuk sekolah. Di Negeri Doni, ikan sejenis Lele hanya seukuran piring makan saja. 

Lele yang sering memperhatikan para penyelam yang berkunjung ke Kerajaan Heptunus itu kini memegangi kamera itu di antara moncongnya. Lalu kumisnya yang panjang-panjang itu dia pakai untuk mengoperasikan tombol-tombolnya. Chiyehhh… Cumi Suquido berbicara tentang sisik.

Salmon mengamati saja dari belakang. Nampaknya seluruh makhluk laut yang hadir saat itu beranggapan bahwa dia sama dengan Belut yang tidak bersisik. Si Kakap yang pandai bermain cantik itu juga tidak mengatakan apa-apa. Kakap ikut-ikutan bertanya pada Cumi tentang apa tipsnya untuk memelihara sisik sampai sebesar itu. Cumi merasa terhormat dengan menjawabnya. Meskipun Kakap juga bersisik seperti Salmon, Cumi tidak pernah mengatakan pada Kakap, “Kamu ini cuma menambahkan ekstra kerja buat koki!” Tidak pernah.

Begitu seminar selesai, Cumi segera menghampiri Lele. “Gimana, Le? Jadi kan, Le?”

"Jadi, Ci, jadi!" sambut Lele bangga.

5. Kami Mau Salmon!
Salmon terlalu masa bodoh. Salmon tidak tahu bahwa meskipun Cumi jadi favorit banyak manusia di Negeri Panji maupun Negeri Doni, ada sebagian manusia yang memilih ikan salmon dan menjauhkan diri dari cumi. Menurut mereka, cumi itu mengandung racun yang bisa mengakibatkan penyakit jantung. Sedangkan ikan salmon justru membantu menawarkan racun yang sejenis dengan racun yang dihasilkan oleh cumi. 

Kelompok manusia yang punya keprihatinan tentang racun yang bisa mengakibatkan penyakit jantung itu juga memilih masakan yang minimal pengolahannya. Manusia-manusia dari Negeri Panji sangat pandai membuat masakan dengan ikan salmon yang tidak diolah. Mereka suka Salmon yang bisa dikonsumsi apa adanya.

Salmon tidak tahu itu, tetapi Cumi tahu. Benar memang kata Cumi bahwa Salmon itu menyusahkan koki yang mau memasaknya karena harus membersihkan sisik-sisiknya terlebih dulu. Benar juga bahwa Salmon itu, apabila dimakan mentah, malah tidak memberikan rasa kenyang seperti yang diberikan oleh Cumi. Sudah begitu, mahal pula harganya.

Karena faktor harga tersebut, Salmon bukan menu kalangan kebanyakan. Namun karena mahal harganya itulah, nelayan-nelayan dari seluruh negeri di muka bumi suka berburu salmon. Cumi menyadari hal itu sepenuhnya.

Setelah lewat hampir 4 Sabi, Salmon merasa jenuh dan muak. Salmon memimpin gerombolannya bermigrasi ke Lautan Atlantik, jauh dari Kerajaan Heptunus. Bosan sudah dia menyenangkan manusia. Barangkali lebih enak menyenangkan beruang kutub yang putih polos, tidak berwarna warni seperti manusia. 

Raja Heptunus kalang kabut. Meskipun kerajaannya masih kaya, kapal-kapal nelayan yang mengarungi Kerajaan Heptunus berkurang. Raja Heptunus khawatir visi satu-satunya kerajaannya untuk menyenangkan manusia itu akan tercemar.

Negeri Panji dan tetangga-tetangganya membuat maklumat yang membatasi penangkapan ikan salmon. “Populasi ikan salmon terancam punah!” teriak mereka.

"Kalau Salmon punah, Beruang bisa punah juga!" teriak yang lain.

Dengan adanya maklumat itu, jumlah kapal yang berlayar di atas Kerajaan Heptunus semakin berkurang lagi. Harga ikan salmon pun menjadi semakin mahal.

Cumi yang memiliki pendengaran yang sangat baik itu menangkap informasi ini juga. Dia sendiri sudah diperintahkan oleh Raja Heptunus untuk mencari Salmon. Cumi berenang-renang maju mundur sambil menyemprotkan tintanya ke mana-mana. Puft! Cumi jadi favorit manusia dari segala kalangan, tetapi tidak pernah dia dengar manusia khawatir Cumi akan punah. Puft! Seandainya Cumi punah, adakah yang akan ikut punah? Puft, puft!

Dengan menunggangi seekor gurita raksasa, Cumi menjelajahi dasar samudera. Salmon tidak ada. Raja Heptunus semakin panik. Cumi belum pernah melihatnya sepanik itu. Gurita yang masih bersaudara dengannya itu dia minta untuk membantu mencarikan Salmon.

Singkat cerita, melalui gelombang dasar laut, Gurita yang jenius berhasil menyampaikan pesan kepada Salmon. 

“Dari mana saja kamu, Mon?!” Cumi berusaha untuk tidak menyemprotkan tintanya.

“Dari Atlantik,” jawab Salmon. “Memangnya kenapa?”

“Untuk apa kamu ke sana?”

“Ah, cuma mau cari tempat yang dingin saja,” jawab Salmon lagi. “Memangnya kenapa?”

“Kamu ini tidak tahu bagaimana dinginnya Atlantik itu. Bagaimana kalau kamu pingsan atau mati mendadak di sana? Siapa yang tahu?” Tetapi nada Cumi sama sekali bukan nada prihatin.

Salmon tidak menanggapi.

"Raja Heptunus panik bukan main,” kata Cumi lagi. Dia mengatakan kamu kepanasan. Kukatakan bahwa kamu hanya pergi berlibur saja. Belum pernah aku melihat raja sepanik itu!” Puft! Puft! Tinta hitam kebiruan tersembur juga keluar sampai Salmon nyaris tak dapat melihat sosok Cumi.

Ah, andaikan Salmon belajar dari Rakyat Negeri Doni yang pandai mengarang cerita meskipun sering kali tidak masuk di akal itu, tentulah Cumi akan lebih senang. Andaikan Salmon mengarang sebuah alasan tentang kepergiannya ke Atlantik, Cumi akan mengetahui bahwa itu dusta, dan Cumi akan merasa bahwa dia dan Salmon have something in common.  Puft, puft! Tinta hitam kebiruan bergulung-gulung di hadapan Salmon.

** Tamat **

I Know When You Give Me A Thumb

i know when you give me a thumb
it doesn't mean my work is better than yours
or worse, you expect something from me

i know when you give me a thumb
it does mean you appreciate what i've done
even better, you are encouraging me to progress

i know when you give me a thumb
you are feeling secure with yourself
and the best, i can depend on you

jakarta, february 27th 2012

Gold Gym cabang MOI Tidak Aman

Mall of Indonesia, 24 Februari 2012

Sudah lama sekali pelayanan di Gold Gym cabang MOI (entah kalau di cabang lain) tidak memuaskan. Tidak perlulah saya daftarkan di posting-an kali ini. Tapi hari ini ketidapuasan saya terhadap Gold Gym cabang MOI meledak-ledak, meletus-letus.... aaarrrggghhh!

Ceritanya, saya meletakkan handuk basah di depan pintu loker sementara saya berias di meja rias yang tepat berada di sebelahnya. Sementara saya berias, melalui kaca saya lihat staff dan cleaning service beberapa kali mondar mondir.

Setelah selesai berias, saya tengok ke arah loker, ternyata handuk besar itu sudah tidak ada. Ya, handuk yang dekil, kasar, dan kurang menyerap air itu.

Alhasil, saya disuruh mengganti rugi sebesar Rp.100.000,-. Handuk baru yang lebih bagus dari itupun tidak akan sampai Rp.100.000,- .

Saya minta biar tas saya diperiksa saja sebagai bukti bahwa saya tidak mengambil handuk itu. Staff tidak peduli. Tas tidak diperiksa. Pokoknya harus bayar. Titik. Sementara itu kartu member saya ditahan.

Rasanya kalau sampai handuk saja harus dijaga sedemikiannya karena risikonya sangat tidak berimbang (ganti rugi Rp.100.000,-), betapa tidak amannya Gold Gym cabang MOI ini. Bagaimana kalau staff sendiri yang mengambil sebagai usaha mendapatkan pemasukan tambahan bagi Gold Gym? Bukan saya menuduh pasti terjadi seperti itu. Namun siapa yang bisa membuktikan bahwa hal itu tidak mungkin?

Barusan baca di Kaskus di: http://www.kaskus.us/showthread.php?p=643907271
Kalau dari cerita di atas (poin 13 yang dikotak merah), memang ada staff yang mengambil handuk. Mungkinkah hal sama terjadi pada saya???