Mimpinya Orang Jakarta

Ucap supir taksi, "Ya pastilah nanti trayek-trayek angkot itu dihapus dan diganti dengan busway. Maksudnya pemerintah kan biar mengurangi kemacetan."

Ucapan itu bukan hanya menambah kekhawatiran saya akan hilangnya angkot-angkot jurusan Pulo Gadung dengan adanya jalur busway jurusan Bekasi yang konon akan bermarkas di Harapan Indah. Ucapan itu seolah membangunkan saya dari sebuah mimpi. Mengurangi kemacetan?

Balas saya kepada supir taksi yang sedang berkutat dengan kemacetan akibat proyek pembangunan jalur busway jurusan Bekasi Sabtu lalu, "Bis AC03 jurusan Pulogadung - Blok M sudah lama almarhum sejak adanya busway. Apakah kawasan Thamrin Sudirman lalu berkurang macetnya? Sama aja!"

Supir taksi, "Iya juga sih."

Lanjut saya lagi, "Tetap aja yang naik busway itu rakyat kelas menengah ke bawah. Yang biasa naik mobil ya tetap naik mobil. Mana ada yang mau naik busway yang antriannya seperti orang antri sembako? Yang kondisinya makin lama makin reot, kalau jalan bunyinya berderik-derik? Yang pintunya tidak bisa tertutup rapat, sehingga air hujan tampias ke dalam? Coba tuh si pemerintah suruh naik busway! Mau nggak??"

"Ya nggak maulah," tukas supir taksi. "Naik mobil aja dikawal. Malah bikin tambah macet."

Soal jengkelnya saya pada Transjakarta sih sudah menahun, bahkan berindikasi makin parah. Dulu penderitaannya hanya seminggu sekali ketika harus menuju arah Thamrin. Sekarang penderitaannya jadi setiap hari ketika harus pulang pergi kerja. Dulu penderitaannya bermula dari Terminal Pulo Gadung. Sekarang penderitaannya bermula dari mana-mana. Dulu penderitaan antri dan naik busway yang berderik-derik bisa digantikan dengan naik taksi, asal ada uang. Sekarang, penderitaan macet di Jalan Raya Bekasi hanya mengajari saya bahwa tidak semua bisa dibeli dengan uang.


Macet parahhh arrrghhh. Tidak peduli hari kerja, atau akhir pekan. Sudah cari jalan lain pun, mobil-mobil lain ternyata seide. Macet juga. Kalau naik taksi, argo terus berputar. Badan tak berkeringat, tapi hati panas. Kalau naik angkot, badan berkeringat, tapi hati terhibur -- yang ini bo'ong banget -- oleh pengamen yang bisa menghabiskan dua lagu sementara angkot baru beranjak sejengkal saja. Lanjut angkot berikut. Sungguh harapan indah buat pengamen.

Kata orang, kalau terlalu banyak melamun, bisa gila. Yeuh, namanya juga macet, coy. Saya mulai membayangkan semua yang saya kenal. Siapa ya yang telah meninggalkan kebiasaan naik mobil pribadi, lalu naik busway? Satu namapun tak muncul di benak.

Mereka yang lalu naik busway adalah orang-orang seperti saya yang dulunya naik bis, tapi bis kesayangannya tewas, sehingga terpaksa naik busway. Busway itu sebenarnya memindahkan penumpang angkutan umum, bukan penumpang kendaraan pribadi. Okelah, badan busway lebih besar daripada badan bis kota sekalipun, sehingga matematikanya mungkin satu busway menggantikan dua bis kota. Tapi berapa jumlah tempat duduk di dalam busway? Apakah lebih banyak daripada jumlah tempat duduk di dalam dua bis kota? Yang tidak dapat tempat duduk harus berdiri. Apakah penumpang kendaraan pribadi sudi diminta 'berkorban' seperti itu?

Suatu Hari Minggu siang, setelah melewati perjuangan keras di Terminal Dukuh Atas, saya dapat tempat duduk di bagian khusus wanita. Ketika saya sedang setengah tertidur, saya dengar petugas busway berseru-seru,

"Tolong ya, kesadarannya! Ini ada yang bawa anak kecil!"

Pikir saya, wanita yang duduk di sini bukan cuma saya. Biarkan saja. Petugas wanita ini berseru berulang kali. Rupanya semua wanita di barisan depan sedang sepaham dengan saya.

Tiba-tiba lengan saya terasa ditepuk keras. "Mbak, mbak! Ini ada yang bawa anak kecil! Diminta kesadarannya! Mbak, mbak!"

Terpaksa saya beranjak dari tempat duduk yang sudah diperjuangkan dengan keras. Eh, setelah saya berdiri pun si mbak petugas masih berseru-seru, "Mohon kesadarannya ya! Mohon kesadarannya!"

"Ini udah sadar banget koq!" tukas saya keras-keras. Gemuruh tawa terdengar.

Eh, si petugas busway masih belum puas rupanya. Padahal si ibu yang bawa anak batita sudah mengambil tempat duduk saya lho. Kata si petugas busway, "Nanti kalau sudah punya anak baru tahu rasa!"

Matematika lagi. Jikalau benar analogi bahwa penumpang kendaraan pribadi tetap pada kendaraan pribadinya, kepadatan kendaraan pribadi di Jakarta tentunya tetap sama. Lalu, apakah ruas jalan diperlebar? Tidak. Justru dipersempit, karena termakan jalur busway. Ibarat botol, diketuk-ketuk dasarnya supaya isinya lebih padat dan ada ruang lebih di permukaannya. Ruang lebih itulah yang diperuntukkan bagi busway yang toh tidak menggantikan kapasitas semua angkutan umum.

Jikalau jumlah armada busway sepadan dengan kapasitas semua angkutan umum yang dilewati jalurnya, pemisahan jalur busway itu bisa berarti pemetaan jalur khusus untuk kendaraan umum. Ibaratnya, semua bis kota, angkot, mikrolet, metromini, kopaja, berkendara di satu jalur khusus. Dengan kata lain, meskipun jumlah penumpang kendaraan pribadi tidak berubah, penumpang kendaraan umum punya jalur khusus. Kalaupun kepadatan lalu lintas hanya berkurang sekian persen, paling tidak lalu lintas jadi lebih teratur alias lancar.

Tapi itu kan mimpinya orang Jakarta.