Di Kampung Harapan Bersih


1. "Dasar Orang Ya, Pak."
Bapak Ibu Tikus, Miki dan Mini, sama parahnya dengan orang Kampung Harapan Bersih dalam mendidik anak-anak mereka. Jika orang-orang dewasa di Kampung Harapan Bersih tidak pernah mendidik anak-anaknya untuk tidak mencoret-coret tembok tetangga, masuk ke pekarangan tetangga tanpa permisi, mencabut tanaman tetangga, atau menaiki mobil tetangga, Miki dan Mini pun tidak pernah mendidik anak-anak mereka untuk tidak mengunyah makanan yang bukan dibawa oleh Bapak dan Ibu. Alhasil, Tikus menggerogoti tempat sampah, keset, pipa, lemari, sabun, pokoknya apa saja yang bisa dimakan, tidak pandang bersih atau menjijikkan, disikatnya. Ketika perut sudah kenyang dan malam sudah larut, mereka beramai-ramai lari berkejar-kejaran masuk ke plafon rumah orang. Inilah taman yang paling indah, tempat bermain dan berteman banyak.

Demikianlah, tikus berkelakuan persis seperti manusia dan manusia pun terpaksa hidup damai dengan tikus. Berhubung anak-anak mereka sama dengan anak-anak tikus, jika ada yang mendapati kesetnya robek atau selang di tamannya bolong, tidak ada yang berani mempersalahkan anak tikus. Siapa tahu itu kerjaan anak orang, bukan?

Pernah suatu kali Pak Koko pulang ke rumah mendapati kap mobilnya baret-baret. Sedannya yang sudah berdempul ria di sana sini, semakin terlihat penyok-penyok di bawah sinar matahari yang sedang terik itu. Asisten rumah tangga Bu Inge yang sedang ngobrol dengan tukang bakso langsung menaikkan volume suaranya:

"Tikus-tikus di sini brengsek! Naik-naik ke mobil bikin baret saja!"

Bapak Miki dan Ibu Mini yang sedang tidur-tiduran di sela dus susu hanya dapat menggoyang-goyangkan ekornya. Sebenarnya anaknya Bu Ingelah yang habis main perosotan di atas mobil Pak Koko, dengan ditemani asisten rumah tangganya itu tentunya. Kalau dilarang kan nanti nangis dan dia sendiri yang repot.

Parahnya, anaknya Bu Inge ini pernah diramal akan jadi pemimpin. Jadilah Si Tika yang baru berumur 3 tahun itu sudah pandai mengajak anak-anak tetangga lain ikut main perosotan di atas mobilnya Pak Koko. Lalu dia naik ke atas atap mobil Pak Koko dan menghentak-hentakkan kakinya sambil memandang berkeliling, layaknya memimpin sebuah kampanye. Sementara itu, Jaya, 1,5 tahun, anaknya Pak Rusli, digendong oleh pengasuhnya dan diletakkan di atas kap mesin mobilnya Pak Koko. Jaya pun mengambil posisi sembah sujud sambil menengadahkan kepalanya ke arah Tika yang sedang mempersiapkan pidatonya. Diko, 4 tahun, yang sudah manjat sendiri dari bemper, merasa jalannya dihalangi oleh Jaya yang gendutnya mengalahkan bakpao. Jadi dia raih tangkai spion sebagai pegangan. Sementara kaki kiri berpijak di atas kap mesin, beberapa senti di belakang pantat Jaya, Diko melangkahkan kakinya tinggi-tinggi melewati kepala botak Jaya lalu menekan pijakannya pada kaca mobil dan membiarkan tumitnya diganjal wiper. Akhirnya... berhasil juga Diko berdiri di samping Tika di atas atap mobil. Tak mau kalah, ia hentak-hentakkan juga kakinya.

Bu Mini menggoyang-goyangkan ekornya sekali lagi. "Dasar orang ya, Pak," katanya kepada Pak Miki.

Anak-anak Tikus selalu tak sabar menanti matahari terbenam. Bukan, bukan untuk difoto! Kalau hari sudah gelap, ayah mereka sudah bersiap-siap menyambangi selingkuhan-selingkuhannya. Saat itulah mereka bebas latihan menyelam di selokan yang sarat dengan berbagai mainan menarik bagi mereka: bungkus permen, bungkus makanan ringan, kotak minuman, sampai boneka, mobil-mobilan, maupun bola, yang karet, yang plastik, yang bisa ditiup... uhhh, banyak deh pokoknya. Senangnya bisa meraup banyak tanpa perlu kerja. Senangnya jadi tikus.

Kejantanan Pak Miki yang tak kenal akhir, semangat biologis Bu Mini dan kaumnya yang merasa mengemban tanggung jawab melestarikan masyarakat tikus, motivasi hidup seperti manusia yang tertanam di dalam setiap anak tikus ketika membuka mata untuk pertama kalinya di atap rumah orang, membuat generasi tikus berkembang pesat memenuhi Kampung Harapan Bersih. Tinggallah bersih itu sebuah harapan.

2. Arti Sebuah Nama
Sebetulnya yang paling disegani di Kampung Harapan Bersih adalah Kucing. Kucing tahu benar hal ini. Maka dia pun mencalonkan dirinya sebagai Raja Kampung Harapan Bersih. Memang yang biasanya jadi raja itu harimau. Namun karena lokasi Kampung Harapan Bersih itu bukan di hutan, tapi kampung sekali juga bukan, kota pun bukan, maka tidak adalah harimau seekor pun di Kampung Harapan Bersih.

Sebentar, Kucing itu disegani oleh orang Kampung Harapan Bersih, tetapi bukan oleh para binatang. Ularlah yang paling ditakuti oleh para binatang. Apapun yang didesiskan oleh Ular pasti akan dituruti dengan sempurna oleh binatang lainnya. Susahnya, sedikit saja ujung ekor Ular terlihat oleh manusia di Kampung Harapan Bersih, pastilah dia dihantam habis-habisan. Maka, Ular yang cerdik itu turut mengusung Kucing untuk menang dalam pemilihan Raja Kampung Harapan Bersih. Sementara Kucing hilir mudik dengan gagahnya dari satu tembok rumah ke tembok rumah lain, keluar masuk gang, sesungguhnya Ularlah yang menjadi pemegang kemudi. Bagi Ular, nama bukan segalanya.

Kucing yang merasa berhutang budi pada Ular yang telah membuka kesempatan baginya, senantiasa membagi tikus tangkapannya dengan Ular. Dengan bebasnya Kucing mondar mandir tanpa diusir manusia, bebas pula dia berburu tikus. Ular pun tinggal menunggu di tempat persembunyiannya. Di lain pihak, Kucing sebagai distributor bagi Ular menjadi bebas dari dimangsa Ular.

Di dasar lubuk hatinya, sesungguhnya Kucing tidak puas dengan keadaannya. Ketika dengan gagahnya dia membacakan sebuah keputusan sambil sesekali menyeka kumis panjangnya, dia melihat sosok boneka kucing. Melawan Ular? Siapa berani? Sebaliknya, kalau bukan karena Ular, mana bisa dia jadi seperti sekarang ini? Keluar dari Kampung Harapan Bersih pun ia tak berani, karena di luar sana anjing-anjing berkeliaran dengan bebasnya. Bahkan, konon ada anjing yang tiga kali lebih besar dari Kucing badannya.

Setiap kali Kucing melihat Tikus lewat, segeralah terlintas bayangan Ular yang sedang melingkar manis di tempat persembunyiannya menunggu upeti dari Kucing. Maka Kucing mengejar Tikus lalu menyergahnya dengan kedua cakar depannya. Dia angkat Tikus ke atas sedikit, lalu dia gigiti leher tikus terus di sekelilinginya. Namun dia berhati-hati untuk tidak menggigit terlalu dalam. Tiba-tiba dia lepaskan kedua cengkramannya. Tikus pun terjatuh ke tanah. Tergopoh-gopoh Tikus berlari sementara tetesan darah kecil-kecil merembas di sela-sela lehernya.

Ketika Tikus berpikir dia sudah selamat, Kucing tiba-tiba melompat ke arahnya. Sekali lagi cakar Kucing mencengkram tubuhnya. Kucing angkat Tikus sedikit ke atas. Tetapi kali ini dia menggigit ekor Tikus sekadar cukup untuk ditenteng Kucing berjalan. Kini dengan posisi keempat kaki dan kepala menghadap ke atas, punggungnya terseret-seret di tanah.

Lagi-lagi tiba-tiba Kucing merenggangkan rahangnya, sehingga ekor Tikus terlepas. Tikus pasrah. Pastilah kini Kucing akan mencabik-cabik perutnya. Dengan posisi keempat kaki masih di atas, Tikus menanti. Kucing berjalan mundur dua langkah. Ditatapnya Tikus lekat-lekat. Tikus masih menanti. Kucing berjalan mundur lagi satu langkah dan menoleh ke belakang.

Perlahan-lahan Tikus membalikkan tubuhnya. Ah, ternyata aku masih kuat berjalan, pikirnya. Satu kaki depannya dia angkat, kemudian satu kaki belakangnya. Tikus mencoba mengendus-endus mencari arah pulang ke rumahnya.

Tiba-tiba...! Sebuah beban yang sangat berat jatuh ke atas tubuhnya. "Ciiittt... ciiiittt..." pekiknya.

Ujung-ujung kumis Kucing melambai-lambai di udara. Ia menyeringgai puas.

Tidaklah heran jika doa setiap tikus di Kampung Harapan Bersih adalah: "Biarlah aku mati di mulut Ular daripada di cengkraman Kucing."

Doa itu kadang terkabul, kadang... juga terkabul. Begini maksudnya: kadang Kucing menangkap Tikus dengan cengkramannya, lalu langsung membawanya kepada Ular. Tetapi ada kalanya juga Kucing menangkap Tikus, menyiksanya, mempermainkannya, melepaskannya, lalu menyiksanya lagi, sampai meskipun masih hidup, sudah tak berdaya lagi. Lalu Kucing membiarkan Tikus tergeletak dan pergi memangsa Cicak. Setelah Kucing puas menggigiti Cicak dengan tentunya mempermainkannya dulu sebelumnya, Kucing kembali ke tempatnya Tikus untuk membawanya kepada Ular. Akhirnya Tikus memang matinya di mulut Ular.

3. Hello Kucing
(bersambung)




Doa Bapak Petinggi

ya Allah, jika Engkau berkehendak
Engkau akan ciptakan sebabnya
Engkau pun beri kekuasaan pada siapa
yang Engkau kehendaki

demikianlah di muka umum
Bapak Petinggi berdoa
kumis hitam melintangnya
membuatnya semakin tampak soleh

sementara jemaah berdesis
amin ya Rob...
di pintu luar seorang anak menangis
karena bolanya terlindas mobil Bapak Petinggi

Pak, saya tidak punya bola lagi
iba anak itu ketika Bapak Petinggi berjalan keluar
meski seratus bola mampu dia beli, katanya:
tentulah Allah berkehendak bolamu terlindas

amin ya Rob...
desis mereka yang mengikuti dari belakang
Engkau berikan kekuasaan pada siapa
yang Engkau kehendaki

mobil Bapak Petinggi melaju pergi
namun dia tentunya tak henti berdoa:
ya Rob.., ampuni kesalahan kami
dan jangan Kau tolak permohonan kami

ayah, ayah, tadi aku gambar surga lho
sambut anaknya setibanya ia di rumah
gambar surga? ah, kau memang anak yang soleh
sambut Bapak Petinggi bangga

sederetan manusia berbadan kotak penuh tombol
yang kepalanya sama semua, terpampang di pangkuannya
hmmm... bagus, bagus. yang gambar surga mana?
pinta Bapak Petinggi dengan tak sabar

ya ini gambar surga, ayah!
Bapak Petinggi menunjuk salah satu manusia kotak
lalu ini siapa?
ini kan robot semua, ayah!


Bekasi, 12 Maret 2012

Pride and Prejudice in Heptunus


1. Satu Kerajaan di antara Dua Negeri
Di seantero dunia bawah laut yang mahaluas itu, berdirilah sebuah kerajaan. Namanya, Kerajaan Heptunus, termahsyur bukan hanya di bawah laut saja, melainkan juga sampai ke daratan luas tempat tinggal manusia. Memang, hanya satu visi Kerajaan Heptunus: Menyenangkan Manusia. Tidak mengherankan, bukan? Sepanjang tahun, kapal-kapal penangkap ikan dari berbagai penjuru bumi, mendekati permukaan laut yang terbentang di atas Kerajaan Heptunus. Konon, kondisi Kerajaan Heptunus yang strategis letaknya dan lagi kaya raya itu, pernah menjadi wilayah sengketa antara dua negeri besar di daratan bumi, yaitu Negeri Doni dan Negeri Panji. 

Negeri Doni kuat karena jumlah penduduknya yang besar. Sudah banyak jumlahnya, kemampuan otak per manusianya pun boleh diadu dengan kemampuan komputer tercanggih yang ada di muka bumi. Intrik-intrik rumit yang tak terpikirkan di negeri lain, di Negeri Doni sudah jadi permainan sehari-hari. Oleh karena itulah, sekali demo saja ngerinya bukan kepalang. 

Sebaliknya, Negeri Panji, jangan ditanya berapa jumlah penduduknya. Negeri ini kecil dan miskin. Keperluan sehari-harinya harus dibeli dari negeri-negeri lain. Itupun salah satu alasan mengapa mereka mati hidup mempertahankan Kerajaan Heptunus. Mereka harus makan.

Pastilah pembacaku sekarang bertanya, lalu apakah yang membuat Negeri Panji sedemikian kuatnya sampai-sampai tentara Negeri Doni yang berkali-kali lipat banyaknya itu tidak juga sanggup mengenyahkan nelayan Panji dari wilayah air di atas Kerajaan Heptunus? Jawabannya sederhana: watak.

Akhirnya, Negeri Doni dan Negeri Panji sama-sama berkuasa atas Kerajaan Heptunus. Kadang nelayan dari Negeri Doni hanya bisa menatap pasrah ketika kapal-kapal besar milik Negeri Panji melemparkan jala raksasanya di atas Kerajaan Heptunus. Tidak ada seorang nelayan pun di Negeri Doni yang punya jala sebesar itu. Tidak, tidak! Mereka mampu membuatnya. Tetapi, tidak pernah selesai. Pernah memang satu kali sebuah jala raksasa selesai dibuat dan kapal pengangkutnya dengan bangganya diberi nama "Transjala". Namun dalam waktu kurang dari satu Sabi – satuan masa di Kerajaan Heptunus – jala itu sudah robek sana sini, sehingga hasil tangkapan banyak yang lolos. Nelayan-nelayan Doni pun saling mempersalahkan. Mereka bertengkar hebat di atas Transjala sampai meledaklah kapal itu. 

Ketika wartawan dari Negeri Panji bertanya apa penyebab meledaknya kapal itu, nelayan Doni dengan tenang menjawab, “Ah, hanya ban meledak saja.” 

Wartawan Panji itu pun pulang menyampaikan beritanya. Namun malang tak dapat ditolak. Dia dipecat. Rakyat Negeri Panji menganggap dia sudah tidak waras lagi. Mana ada kapal berlayar dengan ban?

Tentang sengketa antara Negeri Panji dan Negeri Doni, Kerajaan Heptunus adem ayem saja. Visi menyenangkan manusia itu tidak pandang negeri.

2. Migrasi Besar-Besaran
Pada Sabi ketiga puluh delapan, lempeng bumi bergeser dan tsunami memporakporandakan kehidupan di bawah laut. Arus yang sangat besar mendorong ataupun menyeret berbagai makhluk laut. Ada yang bermigrasi atas kehendaknya sendiri demi harapan akan kehidupan yang lebih baik, karena tempat asalnya sudah kacau balau. Ada pula yang termigrasi. Artinya, bukan atas kehendaknya sendiri. Arus besarlah yang memaksanya keluar. Mereka kemudian ikut arus, pasrah akan terbawa ke mana.

Pergeseran lempeng bumi itu membawa pendatang-pendatang baru ke Kerajaan Heptunus. Raja Heptunus menyambut mereka semua dengan gembira, karena dipikirnya, semakin banyak pendatang, semakin senanglah manusia pada Kerajaan Heptunus.

Cumi yang nama lengkapnya Cumi Suquido selanjutnya diangkat oleh Raja Heptunus sebagai Pemimpin Kelompok Nyam Nyam Panji. Kelompok Nyam Nyam Panji merupakan kelompok makhluk-makhluk laut yang menjadi konsumsi favorit Rakyat Negeri Panji, yaitu Salmon, Tuna, Belut, Makerel, Udang, dan Kerang. Tugas Cumi adalah untuk mengawasi kesehatan dan populasi dari masing-masing makhluk laut itu, supaya kapal-kapal nelayan dari Negeri Panji merasa senang berlayar di atas Kerajaan Heptunus. Dengan demikian, komunikasi antara Kerajaan Heptunus dan Negeri Panji bisa terus terpelihara.

Hampir bersamaan waktunya dengan Cumi, Kakap juga bermigrasi ke Kerajaan Heptunus. Cumi sendiri bermigrasi bersama sahabat kentalnya, Lele. Kekentalan persahabatan Cumi dan Lele melebihi kentalnya dan manisnya susu kental manis dari Negeri Doni. Kata Cumi kepada Kakap,

“Kakap, kenalkan, ini Lele. Lele juga konsumsi Rakyat Negeri Panji.”

Kakap dan Lele pun bersalaman.

Demikian juga Cumi memperkenalkan Lele kepada Salmon yang merupakan anggota kerajaan paling lama di Kerajaan Heptunus. Salmon agak terkejut. Sepanjang informasi yang diketahuinya, tidak ada dikabarkan bahwa ada yang namanya Lele masuk Kelompok Nyam Nyam Panji. Namun Salmon bersalaman juga dengan siripnya.

3. Pecel Lele, Huahahaha!
Satu Sabi lagi lewat tanpa terasa. Cumi Suquido semakin populer di Kerajaan Heptunus. Gulai gemulai tentakel-tentakelnya sungguh memukau banyak dari anggota Kerajaan Heptunus. Banyak dari antara mereka belum pernah melihat makhluk seperti itu sebelumnya. Tentakel-tentakelnya yang dicat pirang itu kadang digelung, kadang dijulurkan. Selain sepasang tentakel, Cumi juga memiliki 8 lengan. Bayangkan! Makhluk laut memiliki lengan! Tidak tanggung-tanggung, delapan pula jumlahnya! Seraya Cumi merenangi Kerajaan Heptunus, lengan-lengannya menari-nari mengikuti arus laut. Sungguh indah bak jari jemari pemain piano dari Negeri Panji.

Raja Heptunus bersyukur atas kehadiran Cumi di antara mereka. Ternyata kapal-kapal nelayan dari Negeri Doni juga suka pada Cumi. Maka, Kerajaan Heptunus bisa juga menjalin hubungan baik dengan Negeri Doni dan dengan demikian, semakin banyak manusia yang bisa disenangkan oleh Kerajaan Heptunus. Sungguh bangga rasanya. Bukankah manusia itu makhluk yang paling tinggi di muka bumi ini?
Sementara itu, Salmon telah mengetahui bahwa Lele bukan anggota Kelompok Nyam Nyam Panji. Kata Rumput Laut padanya sambil tertawa keras,

“Apa? Lele masuk Kelompok Nyam Nyam Panji?? Huahahaha! Yang aku tahu dari penyelam Negeri Doni, di Negeri Doni, Lele memang populer sebagai… duh, apa ya namanya? Sebentar…. Oh, anu! Pecel Lele!”

Kini giliran Salmon yang tertawa terpingkal-pingkal sampai mau rontok sisiknya rasanya. “Apa? Pecel Lele? Lucu sekali namanya!”

Kata Salmon lagi kepada Rumput Laut, “Kalau kau bertemu si penyelam lagi, tolong tanyakan apakah di Negeri Doni ada Pecel Salmon ya!”

“Baik, baik. Nanti aku tanyakan!” sahut Rumput Laut.

Seharian itu Salmon berenang-renang turun naik berlingkar-lingkar. Namanya ikan, bisa tertawa sambil berenang. Tertawa terbahak pula. Pecel Lele. Huahahaha!! Tubuhnya yang sudah kemerah-merahan itu menjadi semakin merah. Gelembung-gelembung udara akibat tawanya itu meninggalkan jejak berbentuk angka 8 di laut laksana pesawat tempur Negeri Doni ketika berdemonstrasi di angkasa.

Setelah seharian dihabiskan untuk tertawa, Salmon beristirahat di Café Terumbu Karang yang banyak sekali jendelanya itu. Salmon suka sekali tempat ini. Dia paling suka bersandar dekat jendela sambil menikmati pemandangan kehidupan Kerajaan Heptunus berlalu di depan matanya.

“Hah… kenapa ya Cumi harus memperkenalkan Lele kepadaku sebagai anggota Kelompok Nyam Nyam Panji?” tanya Salmon pada dirinya sendiri. “Apa maksudnya? Apa tujuannya?”

4. Misteri Tinta Hitam
Dua Sabi pun lewat. Cumi semakin menunjukkan otoritasnya atas Kelompok Nyam Nyam Panji. Menurut Cumi, Salmon kurang aktif memimpin gerombolannya untuk mendekati kapal-kapal nelayan dari Negeri Panji. Begini persisnya kata-kata Cumi kepada Salmon,

“Kamu ini sudah susah dicari, sekalinya didapatkan, susah dimasaknya pula! Kamu membuat koki harus kerja ekstra dengan membersihkan sisik-sisikmu sebelum disajikan. Puft, terpaksa kamu harus dijual mahal di beberapa tempat. Apalagi kalau kamu disajikan mentah. Mahalnya kamu itu tidak sepadan dengan rasa kenyang yang kamu berikan. Puft!” Garis-garis alur hitam kebiruan mulai terlihat di antara Cumi dan Salmon. 

Sebelum kejadian pergeseran lempeng bumi, Salmon tidak pernah melihat makhluk laut yang kalau berbicara bisa mengeluarkan air liur berwarna hitam kebiruan seperti itu. Maka lagi-lagi Salmon pergi bertanya kepada Rumput Laut yang sedang bergoyang.

“Oh… itu bukan air liur,” jelas Rumput Laut.

“Bukan air liur, lalu apa dong?” tanya Salmon lagi.

“Itu tinta.”

“Tinta? Bicara koq pakai tinta sih?”

“Tinta itu Cumi keluarkan bukan hanya ketika berbicara, melainkan ketika ia merasa terancam.”

“Terancam??” Salmon semakin bingung sekarang. Terancam oleh siapa? Sudah jelas-jelas Cumi adalah pemimpin Kelompok Nyam Nyam Panji. Seluruh anggota Kerajaan Heptunus pun menyanjungnya. 

Masih pada Sabi yang sama, dalam rangka menjaga populasi Kerajaan Heptunus, Raja Heptunus menggelar sebuah seminar bertema tentang bagaimana menjaga kesehatan sisik. Cumi dengan penuh rasa percaya diri mengajukan dirinya sebagai pembicara. Yang jelas-jelas bersisik itu Salmon. Namun siapa berani tak mempercayai Cumi?

“Salam Sabi, semuanya!” ucap Cumi sementara tentakelnya dibiarkan terjulur sepanjang tubuhnya. “Nama saya Cumi Suquido.”

“Hihihi…. Suquid! Mama, mama, dia tidak bisa mengucapkan ‘squid’!” Anak Teri cekikikan. 

Mama Teri cepat-cepat menyepak mulut anaknya dengan ekornya. “Hush! Jangan berkata seperti itu! Itu nama dari Negeri Bule.”

Untung saja Teri, apalagi anaknya, terlalu kecil untuk terdengar cekikikannya oleh Cumi yang sedang berceramah di podium yang dibangun dari terumbu karang berwarna warni itu.

Cumi menjuntai-juntaikan lengan-lengannya satu persatu. Para hadirin berdecak kagum pada bulatan-bulatan penghisap yang  berderet-deret sepanjang lengan-lengannya. “Wow! Besar-besar sekali sisik-sisiknya!”

Sementara itu Lele sibuk mengabadikan Cumi dengan kamera. Wow…! Kamera itu dulunya terlepas dari tangan seorang penyelam Negeri Doni ketika dia ketakutan melihat Lele yang berbadan lebih besar dari badan anaknya yang baru masuk sekolah. Di Negeri Doni, ikan sejenis Lele hanya seukuran piring makan saja. 

Lele yang sering memperhatikan para penyelam yang berkunjung ke Kerajaan Heptunus itu kini memegangi kamera itu di antara moncongnya. Lalu kumisnya yang panjang-panjang itu dia pakai untuk mengoperasikan tombol-tombolnya. Chiyehhh… Cumi Suquido berbicara tentang sisik.

Salmon mengamati saja dari belakang. Nampaknya seluruh makhluk laut yang hadir saat itu beranggapan bahwa dia sama dengan Belut yang tidak bersisik. Si Kakap yang pandai bermain cantik itu juga tidak mengatakan apa-apa. Kakap ikut-ikutan bertanya pada Cumi tentang apa tipsnya untuk memelihara sisik sampai sebesar itu. Cumi merasa terhormat dengan menjawabnya. Meskipun Kakap juga bersisik seperti Salmon, Cumi tidak pernah mengatakan pada Kakap, “Kamu ini cuma menambahkan ekstra kerja buat koki!” Tidak pernah.

Begitu seminar selesai, Cumi segera menghampiri Lele. “Gimana, Le? Jadi kan, Le?”

"Jadi, Ci, jadi!" sambut Lele bangga.

5. Kami Mau Salmon!
Salmon terlalu masa bodoh. Salmon tidak tahu bahwa meskipun Cumi jadi favorit banyak manusia di Negeri Panji maupun Negeri Doni, ada sebagian manusia yang memilih ikan salmon dan menjauhkan diri dari cumi. Menurut mereka, cumi itu mengandung racun yang bisa mengakibatkan penyakit jantung. Sedangkan ikan salmon justru membantu menawarkan racun yang sejenis dengan racun yang dihasilkan oleh cumi. 

Kelompok manusia yang punya keprihatinan tentang racun yang bisa mengakibatkan penyakit jantung itu juga memilih masakan yang minimal pengolahannya. Manusia-manusia dari Negeri Panji sangat pandai membuat masakan dengan ikan salmon yang tidak diolah. Mereka suka Salmon yang bisa dikonsumsi apa adanya.

Salmon tidak tahu itu, tetapi Cumi tahu. Benar memang kata Cumi bahwa Salmon itu menyusahkan koki yang mau memasaknya karena harus membersihkan sisik-sisiknya terlebih dulu. Benar juga bahwa Salmon itu, apabila dimakan mentah, malah tidak memberikan rasa kenyang seperti yang diberikan oleh Cumi. Sudah begitu, mahal pula harganya.

Karena faktor harga tersebut, Salmon bukan menu kalangan kebanyakan. Namun karena mahal harganya itulah, nelayan-nelayan dari seluruh negeri di muka bumi suka berburu salmon. Cumi menyadari hal itu sepenuhnya.

Setelah lewat hampir 4 Sabi, Salmon merasa jenuh dan muak. Salmon memimpin gerombolannya bermigrasi ke Lautan Atlantik, jauh dari Kerajaan Heptunus. Bosan sudah dia menyenangkan manusia. Barangkali lebih enak menyenangkan beruang kutub yang putih polos, tidak berwarna warni seperti manusia. 

Raja Heptunus kalang kabut. Meskipun kerajaannya masih kaya, kapal-kapal nelayan yang mengarungi Kerajaan Heptunus berkurang. Raja Heptunus khawatir visi satu-satunya kerajaannya untuk menyenangkan manusia itu akan tercemar.

Negeri Panji dan tetangga-tetangganya membuat maklumat yang membatasi penangkapan ikan salmon. “Populasi ikan salmon terancam punah!” teriak mereka.

"Kalau Salmon punah, Beruang bisa punah juga!" teriak yang lain.

Dengan adanya maklumat itu, jumlah kapal yang berlayar di atas Kerajaan Heptunus semakin berkurang lagi. Harga ikan salmon pun menjadi semakin mahal.

Cumi yang memiliki pendengaran yang sangat baik itu menangkap informasi ini juga. Dia sendiri sudah diperintahkan oleh Raja Heptunus untuk mencari Salmon. Cumi berenang-renang maju mundur sambil menyemprotkan tintanya ke mana-mana. Puft! Cumi jadi favorit manusia dari segala kalangan, tetapi tidak pernah dia dengar manusia khawatir Cumi akan punah. Puft! Seandainya Cumi punah, adakah yang akan ikut punah? Puft, puft!

Dengan menunggangi seekor gurita raksasa, Cumi menjelajahi dasar samudera. Salmon tidak ada. Raja Heptunus semakin panik. Cumi belum pernah melihatnya sepanik itu. Gurita yang masih bersaudara dengannya itu dia minta untuk membantu mencarikan Salmon.

Singkat cerita, melalui gelombang dasar laut, Gurita yang jenius berhasil menyampaikan pesan kepada Salmon. 

“Dari mana saja kamu, Mon?!” Cumi berusaha untuk tidak menyemprotkan tintanya.

“Dari Atlantik,” jawab Salmon. “Memangnya kenapa?”

“Untuk apa kamu ke sana?”

“Ah, cuma mau cari tempat yang dingin saja,” jawab Salmon lagi. “Memangnya kenapa?”

“Kamu ini tidak tahu bagaimana dinginnya Atlantik itu. Bagaimana kalau kamu pingsan atau mati mendadak di sana? Siapa yang tahu?” Tetapi nada Cumi sama sekali bukan nada prihatin.

Salmon tidak menanggapi.

"Raja Heptunus panik bukan main,” kata Cumi lagi. Dia mengatakan kamu kepanasan. Kukatakan bahwa kamu hanya pergi berlibur saja. Belum pernah aku melihat raja sepanik itu!” Puft! Puft! Tinta hitam kebiruan tersembur juga keluar sampai Salmon nyaris tak dapat melihat sosok Cumi.

Ah, andaikan Salmon belajar dari Rakyat Negeri Doni yang pandai mengarang cerita meskipun sering kali tidak masuk di akal itu, tentulah Cumi akan lebih senang. Andaikan Salmon mengarang sebuah alasan tentang kepergiannya ke Atlantik, Cumi akan mengetahui bahwa itu dusta, dan Cumi akan merasa bahwa dia dan Salmon have something in common.  Puft, puft! Tinta hitam kebiruan bergulung-gulung di hadapan Salmon.

** Tamat **