Di Kampung Harapan Bersih
1. "Dasar Orang Ya, Pak."
Bapak Ibu Tikus, Miki dan Mini, sama parahnya dengan orang Kampung Harapan Bersih dalam mendidik anak-anak mereka. Jika orang-orang dewasa di Kampung Harapan Bersih tidak pernah mendidik anak-anaknya untuk tidak mencoret-coret tembok tetangga, masuk ke pekarangan tetangga tanpa permisi, mencabut tanaman tetangga, atau menaiki mobil tetangga, Miki dan Mini pun tidak pernah mendidik anak-anak mereka untuk tidak mengunyah makanan yang bukan dibawa oleh Bapak dan Ibu. Alhasil, Tikus menggerogoti tempat sampah, keset, pipa, lemari, sabun, pokoknya apa saja yang bisa dimakan, tidak pandang bersih atau menjijikkan, disikatnya. Ketika perut sudah kenyang dan malam sudah larut, mereka beramai-ramai lari berkejar-kejaran masuk ke plafon rumah orang. Inilah taman yang paling indah, tempat bermain dan berteman banyak.
Demikianlah, tikus berkelakuan persis seperti manusia dan manusia pun terpaksa hidup damai dengan tikus. Berhubung anak-anak mereka sama dengan anak-anak tikus, jika ada yang mendapati kesetnya robek atau selang di tamannya bolong, tidak ada yang berani mempersalahkan anak tikus. Siapa tahu itu kerjaan anak orang, bukan?
Pernah suatu kali Pak Koko pulang ke rumah mendapati kap mobilnya baret-baret. Sedannya yang sudah berdempul ria di sana sini, semakin terlihat penyok-penyok di bawah sinar matahari yang sedang terik itu. Asisten rumah tangga Bu Inge yang sedang ngobrol dengan tukang bakso langsung menaikkan volume suaranya:
"Tikus-tikus di sini brengsek! Naik-naik ke mobil bikin baret saja!"
Bapak Miki dan Ibu Mini yang sedang tidur-tiduran di sela dus susu hanya dapat menggoyang-goyangkan ekornya. Sebenarnya anaknya Bu Ingelah yang habis main perosotan di atas mobil Pak Koko, dengan ditemani asisten rumah tangganya itu tentunya. Kalau dilarang kan nanti nangis dan dia sendiri yang repot.
Parahnya, anaknya Bu Inge ini pernah diramal akan jadi pemimpin. Jadilah Si Tika yang baru berumur 3 tahun itu sudah pandai mengajak anak-anak tetangga lain ikut main perosotan di atas mobilnya Pak Koko. Lalu dia naik ke atas atap mobil Pak Koko dan menghentak-hentakkan kakinya sambil memandang berkeliling, layaknya memimpin sebuah kampanye. Sementara itu, Jaya, 1,5 tahun, anaknya Pak Rusli, digendong oleh pengasuhnya dan diletakkan di atas kap mesin mobilnya Pak Koko. Jaya pun mengambil posisi sembah sujud sambil menengadahkan kepalanya ke arah Tika yang sedang mempersiapkan pidatonya. Diko, 4 tahun, yang sudah manjat sendiri dari bemper, merasa jalannya dihalangi oleh Jaya yang gendutnya mengalahkan bakpao. Jadi dia raih tangkai spion sebagai pegangan. Sementara kaki kiri berpijak di atas kap mesin, beberapa senti di belakang pantat Jaya, Diko melangkahkan kakinya tinggi-tinggi melewati kepala botak Jaya lalu menekan pijakannya pada kaca mobil dan membiarkan tumitnya diganjal wiper. Akhirnya... berhasil juga Diko berdiri di samping Tika di atas atap mobil. Tak mau kalah, ia hentak-hentakkan juga kakinya.
Bu Mini menggoyang-goyangkan ekornya sekali lagi. "Dasar orang ya, Pak," katanya kepada Pak Miki.
Anak-anak Tikus selalu tak sabar menanti matahari terbenam. Bukan, bukan untuk difoto! Kalau hari sudah gelap, ayah mereka sudah bersiap-siap menyambangi selingkuhan-selingkuhannya. Saat itulah mereka bebas latihan menyelam di selokan yang sarat dengan berbagai mainan menarik bagi mereka: bungkus permen, bungkus makanan ringan, kotak minuman, sampai boneka, mobil-mobilan, maupun bola, yang karet, yang plastik, yang bisa ditiup... uhhh, banyak deh pokoknya. Senangnya bisa meraup banyak tanpa perlu kerja. Senangnya jadi tikus.
Kejantanan Pak Miki yang tak kenal akhir, semangat biologis Bu Mini dan kaumnya yang merasa mengemban tanggung jawab melestarikan masyarakat tikus, motivasi hidup seperti manusia yang tertanam di dalam setiap anak tikus ketika membuka mata untuk pertama kalinya di atap rumah orang, membuat generasi tikus berkembang pesat memenuhi Kampung Harapan Bersih. Tinggallah bersih itu sebuah harapan.
2. Arti Sebuah Nama
Sebetulnya yang paling disegani di Kampung Harapan Bersih adalah Kucing. Kucing tahu benar hal ini. Maka dia pun mencalonkan dirinya sebagai Raja Kampung Harapan Bersih. Memang yang biasanya jadi raja itu harimau. Namun karena lokasi Kampung Harapan Bersih itu bukan di hutan, tapi kampung sekali juga bukan, kota pun bukan, maka tidak adalah harimau seekor pun di Kampung Harapan Bersih.
Sebentar, Kucing itu disegani oleh orang Kampung Harapan Bersih, tetapi bukan oleh para binatang. Ularlah yang paling ditakuti oleh para binatang. Apapun yang didesiskan oleh Ular pasti akan dituruti dengan sempurna oleh binatang lainnya. Susahnya, sedikit saja ujung ekor Ular terlihat oleh manusia di Kampung Harapan Bersih, pastilah dia dihantam habis-habisan. Maka, Ular yang cerdik itu turut mengusung Kucing untuk menang dalam pemilihan Raja Kampung Harapan Bersih. Sementara Kucing hilir mudik dengan gagahnya dari satu tembok rumah ke tembok rumah lain, keluar masuk gang, sesungguhnya Ularlah yang menjadi pemegang kemudi. Bagi Ular, nama bukan segalanya.
Kucing yang merasa berhutang budi pada Ular yang telah membuka kesempatan baginya, senantiasa membagi tikus tangkapannya dengan Ular. Dengan bebasnya Kucing mondar mandir tanpa diusir manusia, bebas pula dia berburu tikus. Ular pun tinggal menunggu di tempat persembunyiannya. Di lain pihak, Kucing sebagai distributor bagi Ular menjadi bebas dari dimangsa Ular.
Di dasar lubuk hatinya, sesungguhnya Kucing tidak puas dengan keadaannya. Ketika dengan gagahnya dia membacakan sebuah keputusan sambil sesekali menyeka kumis panjangnya, dia melihat sosok boneka kucing. Melawan Ular? Siapa berani? Sebaliknya, kalau bukan karena Ular, mana bisa dia jadi seperti sekarang ini? Keluar dari Kampung Harapan Bersih pun ia tak berani, karena di luar sana anjing-anjing berkeliaran dengan bebasnya. Bahkan, konon ada anjing yang tiga kali lebih besar dari Kucing badannya.
Setiap kali Kucing melihat Tikus lewat, segeralah terlintas bayangan Ular yang sedang melingkar manis di tempat persembunyiannya menunggu upeti dari Kucing. Maka Kucing mengejar Tikus lalu menyergahnya dengan kedua cakar depannya. Dia angkat Tikus ke atas sedikit, lalu dia gigiti leher tikus terus di sekelilinginya. Namun dia berhati-hati untuk tidak menggigit terlalu dalam. Tiba-tiba dia lepaskan kedua cengkramannya. Tikus pun terjatuh ke tanah. Tergopoh-gopoh Tikus berlari sementara tetesan darah kecil-kecil merembas di sela-sela lehernya.
Ketika Tikus berpikir dia sudah selamat, Kucing tiba-tiba melompat ke arahnya. Sekali lagi cakar Kucing mencengkram tubuhnya. Kucing angkat Tikus sedikit ke atas. Tetapi kali ini dia menggigit ekor Tikus sekadar cukup untuk ditenteng Kucing berjalan. Kini dengan posisi keempat kaki dan kepala menghadap ke atas, punggungnya terseret-seret di tanah.
Lagi-lagi tiba-tiba Kucing merenggangkan rahangnya, sehingga ekor Tikus terlepas. Tikus pasrah. Pastilah kini Kucing akan mencabik-cabik perutnya. Dengan posisi keempat kaki masih di atas, Tikus menanti. Kucing berjalan mundur dua langkah. Ditatapnya Tikus lekat-lekat. Tikus masih menanti. Kucing berjalan mundur lagi satu langkah dan menoleh ke belakang.
Perlahan-lahan Tikus membalikkan tubuhnya. Ah, ternyata aku masih kuat berjalan, pikirnya. Satu kaki depannya dia angkat, kemudian satu kaki belakangnya. Tikus mencoba mengendus-endus mencari arah pulang ke rumahnya.
Tiba-tiba...! Sebuah beban yang sangat berat jatuh ke atas tubuhnya. "Ciiittt... ciiiittt..." pekiknya.
Ujung-ujung kumis Kucing melambai-lambai di udara. Ia menyeringgai puas.
Tidaklah heran jika doa setiap tikus di Kampung Harapan Bersih adalah: "Biarlah aku mati di mulut Ular daripada di cengkraman Kucing."
Doa itu kadang terkabul, kadang... juga terkabul. Begini maksudnya: kadang Kucing menangkap Tikus dengan cengkramannya, lalu langsung membawanya kepada Ular. Tetapi ada kalanya juga Kucing menangkap Tikus, menyiksanya, mempermainkannya, melepaskannya, lalu menyiksanya lagi, sampai meskipun masih hidup, sudah tak berdaya lagi. Lalu Kucing membiarkan Tikus tergeletak dan pergi memangsa Cicak. Setelah Kucing puas menggigiti Cicak dengan tentunya mempermainkannya dulu sebelumnya, Kucing kembali ke tempatnya Tikus untuk membawanya kepada Ular. Akhirnya Tikus memang matinya di mulut Ular.
3. Hello Kucing
(bersambung)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment