1. Satu Kerajaan di antara Dua Negeri
Di seantero dunia bawah laut yang mahaluas itu,
berdirilah sebuah kerajaan. Namanya, Kerajaan Heptunus, termahsyur bukan hanya
di bawah laut saja, melainkan juga sampai ke daratan luas tempat tinggal
manusia. Memang, hanya satu visi Kerajaan Heptunus: Menyenangkan Manusia. Tidak
mengherankan, bukan? Sepanjang tahun, kapal-kapal penangkap ikan dari berbagai
penjuru bumi, mendekati permukaan laut yang terbentang di atas Kerajaan
Heptunus. Konon, kondisi Kerajaan Heptunus yang strategis letaknya dan lagi
kaya raya itu, pernah menjadi wilayah sengketa antara dua negeri besar di
daratan bumi, yaitu Negeri Doni dan Negeri Panji.
Negeri Doni kuat karena jumlah penduduknya yang besar. Sudah
banyak jumlahnya, kemampuan otak per manusianya pun boleh diadu dengan
kemampuan komputer tercanggih yang ada di muka bumi. Intrik-intrik rumit yang
tak terpikirkan di negeri lain, di Negeri Doni sudah jadi permainan
sehari-hari. Oleh karena itulah, sekali demo saja ngerinya bukan kepalang.
Sebaliknya, Negeri Panji, jangan ditanya berapa jumlah
penduduknya. Negeri ini kecil dan miskin. Keperluan sehari-harinya harus dibeli
dari negeri-negeri lain. Itupun salah satu alasan mengapa mereka mati hidup
mempertahankan Kerajaan Heptunus. Mereka harus makan.
Pastilah pembacaku sekarang bertanya, lalu apakah yang
membuat Negeri Panji sedemikian kuatnya sampai-sampai tentara Negeri Doni yang
berkali-kali lipat banyaknya itu tidak juga sanggup mengenyahkan nelayan Panji
dari wilayah air di atas Kerajaan Heptunus? Jawabannya sederhana: watak.
Akhirnya, Negeri Doni dan Negeri Panji sama-sama berkuasa
atas Kerajaan Heptunus. Kadang nelayan dari Negeri Doni hanya bisa menatap
pasrah ketika kapal-kapal besar milik Negeri Panji melemparkan jala raksasanya
di atas Kerajaan Heptunus. Tidak ada seorang nelayan pun di Negeri Doni yang
punya jala sebesar itu. Tidak, tidak! Mereka mampu membuatnya. Tetapi, tidak
pernah selesai. Pernah memang satu kali sebuah jala raksasa selesai dibuat dan
kapal pengangkutnya dengan bangganya diberi nama "Transjala". Namun dalam waktu
kurang dari satu Sabi – satuan masa di Kerajaan Heptunus – jala itu sudah robek
sana sini, sehingga hasil tangkapan banyak yang lolos. Nelayan-nelayan Doni pun
saling mempersalahkan. Mereka bertengkar hebat di atas Transjala sampai meledaklah
kapal itu.
Ketika wartawan dari Negeri Panji bertanya apa penyebab
meledaknya kapal itu, nelayan Doni dengan tenang menjawab, “Ah, hanya ban meledak saja.”
Wartawan Panji itu pun pulang menyampaikan beritanya.
Namun malang tak dapat ditolak. Dia dipecat. Rakyat Negeri Panji menganggap dia
sudah tidak waras lagi. Mana ada kapal berlayar dengan ban?
Tentang sengketa antara Negeri Panji dan Negeri Doni,
Kerajaan Heptunus adem ayem saja. Visi menyenangkan manusia itu tidak pandang
negeri.
2. Migrasi Besar-Besaran
Pada Sabi ketiga puluh delapan, lempeng bumi bergeser dan
tsunami memporakporandakan kehidupan di bawah laut. Arus yang sangat besar
mendorong ataupun menyeret berbagai makhluk laut. Ada yang bermigrasi atas
kehendaknya sendiri demi harapan akan kehidupan yang lebih baik, karena tempat
asalnya sudah kacau balau. Ada pula yang termigrasi. Artinya, bukan atas
kehendaknya sendiri. Arus besarlah yang memaksanya keluar. Mereka kemudian ikut
arus, pasrah akan terbawa ke mana.
Pergeseran lempeng bumi itu membawa pendatang-pendatang
baru ke Kerajaan Heptunus. Raja Heptunus menyambut mereka semua dengan gembira,
karena dipikirnya, semakin banyak pendatang, semakin senanglah manusia pada
Kerajaan Heptunus.
Cumi yang nama lengkapnya Cumi Suquido selanjutnya
diangkat oleh Raja Heptunus sebagai Pemimpin Kelompok Nyam Nyam Panji. Kelompok
Nyam Nyam Panji merupakan kelompok makhluk-makhluk laut yang menjadi konsumsi favorit
Rakyat Negeri Panji, yaitu Salmon, Tuna, Belut, Makerel, Udang, dan Kerang.
Tugas Cumi adalah untuk mengawasi kesehatan dan populasi dari masing-masing
makhluk laut itu, supaya kapal-kapal nelayan dari Negeri Panji merasa senang
berlayar di atas Kerajaan Heptunus. Dengan demikian, komunikasi antara Kerajaan
Heptunus dan Negeri Panji bisa terus terpelihara.
Hampir bersamaan waktunya dengan Cumi, Kakap juga
bermigrasi ke Kerajaan Heptunus. Cumi sendiri bermigrasi bersama sahabat
kentalnya, Lele. Kekentalan persahabatan Cumi dan Lele melebihi kentalnya dan
manisnya susu kental manis dari Negeri Doni. Kata Cumi kepada Kakap,
“Kakap, kenalkan, ini Lele. Lele juga konsumsi Rakyat
Negeri Panji.”
Kakap dan Lele pun bersalaman.
Demikian juga Cumi memperkenalkan Lele kepada Salmon yang
merupakan anggota kerajaan paling lama di Kerajaan Heptunus. Salmon agak
terkejut. Sepanjang informasi yang diketahuinya, tidak ada dikabarkan bahwa ada
yang namanya Lele masuk Kelompok Nyam Nyam Panji. Namun Salmon bersalaman juga
dengan siripnya.
3. Pecel Lele, Huahahaha!
Satu Sabi lagi lewat tanpa terasa. Cumi Suquido semakin populer
di Kerajaan Heptunus. Gulai gemulai tentakel-tentakelnya sungguh memukau banyak
dari anggota Kerajaan Heptunus. Banyak dari antara mereka belum pernah
melihat makhluk seperti itu sebelumnya. Tentakel-tentakelnya yang dicat pirang
itu kadang digelung, kadang dijulurkan. Selain sepasang tentakel, Cumi juga
memiliki 8 lengan. Bayangkan! Makhluk laut memiliki lengan! Tidak tanggung-tanggung,
delapan pula jumlahnya! Seraya Cumi merenangi Kerajaan Heptunus, lengan-lengannya
menari-nari mengikuti arus laut. Sungguh indah bak jari jemari pemain piano dari
Negeri Panji.
Raja Heptunus bersyukur atas kehadiran Cumi di antara
mereka. Ternyata kapal-kapal nelayan dari Negeri Doni juga suka pada Cumi.
Maka, Kerajaan Heptunus bisa juga menjalin hubungan baik dengan Negeri Doni dan
dengan demikian, semakin banyak manusia yang bisa disenangkan oleh Kerajaan
Heptunus. Sungguh bangga rasanya. Bukankah manusia itu makhluk yang paling
tinggi di muka bumi ini?
Sementara itu, Salmon telah mengetahui bahwa Lele bukan anggota
Kelompok Nyam Nyam Panji. Kata Rumput Laut padanya sambil tertawa keras,
“Apa? Lele masuk Kelompok Nyam Nyam Panji?? Huahahaha! Yang aku
tahu dari penyelam Negeri Doni, di Negeri Doni, Lele memang populer sebagai…
duh, apa ya namanya? Sebentar…. Oh, anu! Pecel Lele!”
Kini giliran Salmon yang tertawa terpingkal-pingkal
sampai mau rontok sisiknya rasanya. “Apa? Pecel Lele? Lucu sekali namanya!”
Kata Salmon lagi kepada Rumput Laut, “Kalau kau bertemu
si penyelam lagi, tolong tanyakan apakah di Negeri Doni ada Pecel Salmon ya!”
“Baik, baik. Nanti aku tanyakan!” sahut Rumput Laut.
Seharian itu Salmon berenang-renang turun naik
berlingkar-lingkar. Namanya ikan, bisa tertawa sambil
berenang. Tertawa terbahak pula. Pecel Lele. Huahahaha!! Tubuhnya yang sudah
kemerah-merahan itu menjadi semakin merah. Gelembung-gelembung udara akibat tawanya itu meninggalkan jejak berbentuk angka 8 di laut laksana pesawat tempur Negeri Doni ketika berdemonstrasi di angkasa.
Setelah seharian dihabiskan untuk tertawa, Salmon
beristirahat di Café Terumbu Karang yang banyak sekali jendelanya itu. Salmon
suka sekali tempat ini. Dia paling suka bersandar dekat jendela sambil
menikmati pemandangan kehidupan Kerajaan Heptunus berlalu di depan matanya.
“Hah… kenapa ya Cumi harus memperkenalkan Lele kepadaku sebagai
anggota Kelompok Nyam Nyam Panji?” tanya Salmon pada dirinya sendiri. “Apa
maksudnya? Apa tujuannya?”
4. Misteri Tinta Hitam
Dua Sabi pun lewat. Cumi semakin menunjukkan otoritasnya
atas Kelompok Nyam Nyam Panji. Menurut Cumi, Salmon kurang aktif memimpin gerombolannya untuk mendekati kapal-kapal nelayan dari Negeri Panji. Begini
persisnya kata-kata Cumi kepada Salmon,
“Kamu ini sudah susah dicari, sekalinya didapatkan, susah
dimasaknya pula! Kamu membuat koki harus kerja ekstra dengan membersihkan
sisik-sisikmu sebelum disajikan. Puft, terpaksa kamu harus dijual mahal di
beberapa tempat. Apalagi kalau kamu disajikan mentah. Mahalnya kamu itu tidak
sepadan dengan rasa kenyang yang kamu berikan. Puft!” Garis-garis alur hitam
kebiruan mulai terlihat di antara Cumi dan Salmon.
Sebelum kejadian pergeseran lempeng bumi, Salmon tidak
pernah melihat makhluk laut yang kalau berbicara bisa mengeluarkan air liur
berwarna hitam kebiruan seperti itu. Maka lagi-lagi Salmon pergi bertanya
kepada Rumput Laut yang sedang bergoyang.
“Oh… itu bukan air liur,” jelas Rumput Laut.
“Bukan air liur, lalu apa dong?” tanya Salmon lagi.
“Itu tinta.”
“Tinta? Bicara koq pakai tinta sih?”
“Tinta itu Cumi keluarkan bukan hanya ketika berbicara,
melainkan ketika ia merasa terancam.”
“Terancam??” Salmon semakin bingung sekarang. Terancam
oleh siapa? Sudah jelas-jelas Cumi adalah pemimpin Kelompok Nyam Nyam Panji. Seluruh
anggota Kerajaan Heptunus pun menyanjungnya.
Masih pada Sabi yang sama, dalam rangka menjaga populasi
Kerajaan Heptunus, Raja Heptunus menggelar sebuah seminar bertema tentang
bagaimana menjaga kesehatan sisik. Cumi dengan penuh rasa percaya diri
mengajukan dirinya sebagai pembicara. Yang jelas-jelas bersisik itu Salmon.
Namun siapa berani tak mempercayai Cumi?
“Salam Sabi, semuanya!” ucap Cumi sementara tentakelnya
dibiarkan terjulur sepanjang tubuhnya. “Nama saya Cumi Suquido.”
“Hihihi…. Suquid! Mama, mama, dia tidak bisa mengucapkan ‘squid’!”
Anak Teri cekikikan.
Mama Teri cepat-cepat menyepak mulut anaknya dengan
ekornya. “Hush! Jangan berkata seperti itu! Itu nama dari Negeri Bule.”
Untung saja Teri, apalagi anaknya, terlalu kecil untuk
terdengar cekikikannya oleh Cumi yang sedang berceramah di podium yang dibangun
dari terumbu karang berwarna warni itu.
Cumi menjuntai-juntaikan lengan-lengannya satu persatu.
Para hadirin berdecak kagum pada bulatan-bulatan penghisap yang berderet-deret sepanjang lengan-lengannya. “Wow!
Besar-besar sekali sisik-sisiknya!”
Sementara itu Lele sibuk mengabadikan Cumi dengan kamera.
Wow…! Kamera itu dulunya terlepas dari tangan seorang penyelam Negeri Doni
ketika dia ketakutan melihat Lele yang berbadan lebih besar dari badan anaknya
yang baru masuk sekolah. Di Negeri Doni, ikan sejenis Lele hanya seukuran
piring makan saja.
Lele yang sering memperhatikan para penyelam yang berkunjung ke Kerajaan Heptunus itu kini memegangi kamera itu di antara moncongnya. Lalu kumisnya yang panjang-panjang itu dia pakai untuk mengoperasikan tombol-tombolnya. Chiyehhh… Cumi Suquido berbicara tentang sisik.
Lele yang sering memperhatikan para penyelam yang berkunjung ke Kerajaan Heptunus itu kini memegangi kamera itu di antara moncongnya. Lalu kumisnya yang panjang-panjang itu dia pakai untuk mengoperasikan tombol-tombolnya. Chiyehhh… Cumi Suquido berbicara tentang sisik.
Salmon mengamati saja dari belakang. Nampaknya seluruh
makhluk laut yang hadir saat itu beranggapan bahwa dia sama dengan Belut yang
tidak bersisik. Si Kakap yang pandai bermain cantik itu juga tidak mengatakan
apa-apa. Kakap ikut-ikutan bertanya pada Cumi tentang apa tipsnya untuk
memelihara sisik sampai sebesar itu. Cumi merasa terhormat dengan menjawabnya.
Meskipun Kakap juga bersisik seperti Salmon, Cumi tidak pernah mengatakan pada Kakap,
“Kamu ini cuma menambahkan ekstra kerja buat koki!” Tidak pernah.
Begitu seminar selesai, Cumi segera menghampiri Lele. “Gimana,
Le? Jadi kan, Le?”
"Jadi, Ci, jadi!" sambut Lele bangga.
"Jadi, Ci, jadi!" sambut Lele bangga.
5. Kami Mau Salmon!
Salmon terlalu masa bodoh. Salmon tidak tahu bahwa
meskipun Cumi jadi favorit banyak manusia di Negeri Panji maupun Negeri Doni,
ada sebagian manusia yang memilih ikan salmon dan menjauhkan diri dari cumi.
Menurut mereka, cumi itu mengandung racun yang bisa mengakibatkan penyakit
jantung. Sedangkan ikan salmon justru membantu menawarkan racun yang sejenis
dengan racun yang dihasilkan oleh cumi.
Kelompok manusia yang punya keprihatinan tentang racun
yang bisa mengakibatkan penyakit jantung itu juga memilih masakan yang minimal
pengolahannya. Manusia-manusia dari Negeri Panji sangat pandai membuat masakan
dengan ikan salmon yang tidak diolah. Mereka suka Salmon yang bisa dikonsumsi apa adanya.
Salmon tidak tahu itu, tetapi Cumi tahu. Benar memang
kata Cumi bahwa Salmon itu menyusahkan koki yang mau memasaknya karena harus
membersihkan sisik-sisiknya terlebih dulu. Benar juga bahwa Salmon itu, apabila
dimakan mentah, malah tidak memberikan rasa kenyang seperti yang diberikan oleh
Cumi. Sudah begitu, mahal pula harganya.
Karena faktor harga tersebut, Salmon bukan menu kalangan
kebanyakan. Namun karena mahal harganya itulah, nelayan-nelayan dari seluruh
negeri di muka bumi suka berburu salmon. Cumi menyadari hal itu sepenuhnya.
Setelah lewat hampir 4 Sabi, Salmon merasa jenuh dan
muak. Salmon memimpin gerombolannya bermigrasi ke Lautan Atlantik, jauh dari
Kerajaan Heptunus. Bosan sudah dia menyenangkan manusia. Barangkali lebih enak
menyenangkan beruang kutub yang putih polos, tidak berwarna warni seperti
manusia.
Raja Heptunus kalang kabut. Meskipun kerajaannya masih
kaya, kapal-kapal nelayan yang mengarungi Kerajaan Heptunus berkurang. Raja
Heptunus khawatir visi satu-satunya kerajaannya untuk menyenangkan manusia itu
akan tercemar.
Negeri Panji dan tetangga-tetangganya
membuat maklumat yang membatasi penangkapan ikan salmon. “Populasi ikan salmon
terancam punah!” teriak mereka.
"Kalau Salmon punah, Beruang bisa punah juga!" teriak yang lain.
"Kalau Salmon punah, Beruang bisa punah juga!" teriak yang lain.
Dengan adanya maklumat itu, jumlah kapal yang berlayar di
atas Kerajaan Heptunus semakin berkurang lagi. Harga ikan salmon pun menjadi semakin mahal.
Cumi yang memiliki pendengaran yang sangat baik itu
menangkap informasi ini juga. Dia sendiri sudah diperintahkan oleh Raja
Heptunus untuk mencari Salmon. Cumi berenang-renang maju mundur sambil menyemprotkan
tintanya ke mana-mana. Puft! Cumi jadi favorit manusia dari segala kalangan,
tetapi tidak pernah dia dengar manusia khawatir Cumi akan punah. Puft! Seandainya Cumi punah, adakah yang akan ikut punah? Puft, puft!
Dengan menunggangi seekor gurita raksasa, Cumi
menjelajahi dasar samudera. Salmon tidak ada. Raja Heptunus semakin panik. Cumi
belum pernah melihatnya sepanik itu. Gurita yang masih bersaudara dengannya itu
dia minta untuk membantu mencarikan Salmon.
Singkat cerita, melalui gelombang dasar laut, Gurita yang
jenius berhasil menyampaikan pesan kepada Salmon.
“Dari mana saja kamu, Mon?!” Cumi berusaha untuk tidak
menyemprotkan tintanya.
“Dari Atlantik,” jawab Salmon. “Memangnya kenapa?”
“Untuk apa kamu ke sana?”
“Ah, cuma mau cari tempat yang dingin saja,” jawab Salmon
lagi. “Memangnya kenapa?”
“Kamu ini tidak tahu bagaimana dinginnya Atlantik itu.
Bagaimana kalau kamu pingsan atau mati mendadak di sana? Siapa yang tahu?”
Tetapi nada Cumi sama sekali bukan nada prihatin.
Salmon tidak menanggapi.
"Raja Heptunus panik bukan main,” kata Cumi lagi. Dia mengatakan
kamu kepanasan. Kukatakan bahwa kamu hanya pergi berlibur saja. Belum
pernah aku melihat raja sepanik itu!” Puft! Puft! Tinta hitam kebiruan tersembur juga keluar sampai Salmon nyaris tak dapat melihat sosok Cumi.
Ah, andaikan Salmon belajar dari Rakyat Negeri Doni yang
pandai mengarang cerita meskipun sering kali tidak masuk di akal itu, tentulah
Cumi akan lebih senang. Andaikan Salmon mengarang sebuah alasan tentang
kepergiannya ke Atlantik, Cumi akan mengetahui bahwa itu dusta, dan Cumi akan
merasa bahwa dia dan Salmon have
something in common. Puft, puft!
Tinta hitam kebiruan bergulung-gulung di hadapan Salmon.
**
Tamat **
No comments:
Post a Comment