Doa Seorang Direktur

Justus, nama perusahaannya. Seperti namanya, bisnisnya adalah jus minuman. Area suplai jus ini meliputi seluruh Negeri Bobrokan Asih, Utara, Timur, Barat, Selatan... pokoknya semua. Kantor cabangnya pun merata tersebar di mana-mana. Saat ini sudah ada 9 kantor cabangnya. Keberadaan kantor-kantor cabang ini sungguh membawa berkah. Beberapa orang tak sabar menanti dibukanya cabang baru. Mengapa? Itu nanti ceritanya.

Nama "Justus" sendiri sebetulnya diambil dari nama kampung halaman Bapak Direktur yang konon falsafahnya adalah keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh warga. Mirip juga ya dengan kata Bahasa Inggris "justice" yang berarti "keadilan".

Di seluruh Bobrokan Asih tidak ada yang bisa memproduksi jus seperti Jus Justus. Bukannya tidak ada yang mampu. Justru sebaliknya, banyak yang lebih mampu. Masalahnya, mesin utama yang dipakai untuk mengolah buah-buahan yang berwarna warni menjadi bening bagaikan air ledeng itu dikuasai oleh negara. Hal tersebut berlandaskan pada undang-undang Negeri Bobrokan Asih yang berbunyi:

"Tanah, hujan, buah-buahan, dan jus, dikuasai oleh negara."

Kalau dikuasai negara, memangnya kenapa? Pasti kau bertanya seperti itu. Begini, Bapak Direktur Justus punya hubungan sangat erat dengan para pemimpin negara. Jangan tanya, hubungan seperti apa. Akupun tak tahulah. Pokoknya, ada hubungan.

Nah, kalau kata si bule nih ya, Bapak Direktur itu jadi dapat privilege untuk menjalankan mesin pengolah buah-buahan karena punya hubungan khusus. Tak sedikit sebenarnya yang menentang keras kekuasaan yang diberikan kepada Bapak Direktur ini. Ya iyalah, Bapak Direktur ini ya, sekolahnya itu jurusan tukang las solder. Masakan tukang las jualan jus?

Namun latar belakang sekolah tukang las solder itu nampaknya tidaklah sia-sia. Hubungan Bapak Direktur dengan para petinggi negara dilasnya sedemikian eratnya hingga tak dapat dilepaskan oleh siapapun atau apapun. Mantap tenan pisan sungguh!

Suatu hari, Bapak Direktur berdoa begini:

"Ya Robb...beri aku kesehatan dan kekuatan, agar aku bisa membantu mewujudkan mimpi orang-orang di sekitarku."

Serta merta para Kepala Cabang serentak menyahut, "Amiiin!"

Sementara mereka mengawasi para bawahan mereka mengisi kaleng-kaleng jus, tak hentinya mereka mengaminkan doa Sang Direktur. Pada kaleng-kaleng jus itu tertera "Isi nett 250 ml", sedangkan isi sesungguhnya hanya 200 ml. Dalam perhitngan neraca rugi laba, nilai penjualan yang tertera adalah untuk produksi sebanyak 250 ml per kaleng. Biaya bahan baku dihitung senilai 250 ml per kaleng, sedangkan pada kenyataannya bahan baku yang dikeluarkan hanya sebesar 200 ml per kaleng.

Sudah beberapa konsumen yang menyadari bahwa isi bersih kaleng Jus Justus sebenarnya bukan 250 ml. Namun setiap kali ada konsumen yang memprotes kenyataan tersebut, Kepala Cabang hanya tertawa-tawa. Katanya,

"Mana kami tahu? Bukankah Ibu sendiri yang membuka kalengnya?"

"Ya saya buka dan tuangkan ke gelas ukur, ternyata hanya 200 ml isinya, Pak."

"Baju Ibu basah tidak waktu itu? Mungkin 50 ml itu tumpah ke baju Ibu sewaktu membuka kalengnya."

"Saya sudah pastikan waktu itu baju saya kering, sepatu saya kering, di bawah meja dan kursi juga tidak ada tumpahan jus."

"Ibu kan pakai kipas angin di rumah. Pasti tersedot oleh angin, Bu."

"Masakan kipas angin bisa menyedot sampai 50 ml cairan dalam sekejap tanpa bekas?"

"Huahahaha! Ya bisa saja, Bu!"

Konsumen Justus merasa bahwa alasan yang diungkapkan Bapak Kepala Cabang itu bukan saja mengada-ada, tetapi keterlaluan. Mungkinkah Bapak Kepala Cabang memang sudah tahu bahwa isi kaleng sesungguhnya adalah 200 ml?

Dengan rasa penasaran yang menggunung, Konsumen Justus melayangkan surat pengaduan kepada Bapak Direktur. Akan tetapi, jawaban yang diterima Konsumen Justus semakin membuatnya bingung alang kepalang. Begini kata Bapak Direktur,

"Saya tidak mungkin memberi harga diskon kepada Ibu. Kalau saya menjual 250 ml jus dengan harga 200 ml, saya bisa dipenggal oleh Presiden Bobrokan Asih."

"Pak Direktur," kata Konsumen Justus. "saya bukan minta keringanan harga. Saya menyampaikan keberatan akan isi kaleng yang tidak sesuai dengan tulisan yang tertera pada kaleng."

Jawab Direktur Justus, "Ibu ini koq susah diajak mengerti ya? Kalau Ibu mau minta kaleng jus yang Ibu beli itu diganti, nanti saya suruh staf saya mengantarkan satu kerat kaleng ke rumah Ibu. Kapan Ibu bisa?"

Jangan-jangan Bapak Direktur juga tahu bahwa isi bersih kaleng Justus tidak sesuai dengan angka yang tertera pada kalengnya, pikir Konsumen Justus.

***** 

"Ya Robb...beri Bapak Direktur kesehatan dan kekuatan, agar beliau bisa membantu mewujudkan mimpiku," doa Bapak Kepala Cabang dengan tambah semangat.

Konsumen Justus turut serta mengaminkan. "Amiiinnn!" ucapnya dengan kesungguhan penuh.

Suami Konsumen Justus memandanginya dengan heran teramat sangat. "Bukankah kau merasa ditipu, karena membayar seharga 250 ml jus, sedangkan yang kau minum hanya 200 ml?"

"Tentu saja!" tandas istrinya berapi-api.

"Lalu? Mengapa kau aminkan doanya? Bukankah kau juga merasa jijik dengan gaya hidup Bapak Direktur yang kelihatannya soleh, tetapi membiarkan hak konsumennya tertindas?"

"Lha, aku kan juga orang yang taat beragama. Memangnya Bapak Direktur saja yang taat beragama?"

"Iya, iya, aku tahu. Itulah juga sebabnya aku menikahimu dulu, karena kau wanita yang taat beragama."

"Nah! Bapak sudah tahu.  Kenapa pula sekarang Bapak bingung?"

"Ah istriku... kau memang wanita yang sangat soleh. Bagi orang yang sudah merugikan bahkan mempermainkanmu, kau masih turut mendoakan agar dia sehat dan kuat. Sungguh, aku bangga padamu."

Sang istri pura-pura tidak dengar dipuji. Ia asyik mempersiapkan dua cangkir kopi. Ya memang konon wanita itu bisa multitasking.

"Tadinya aku pikir," lanjut Sang Suami lagi. "kau akan mendoakan Bapak Direktur biar cepat mampus. Kalau perlu, biar terlindas buldozer dan dibuat jus. Kan tubuh manusia itu 90 persen terdiri dari air. Jadi..."

"Ih, Bapak apaan sih?! Horor sekali ceritanya! Nanti malam aku tidak bisa tidur nih membayangkan itu. Sudah ah! Kalau mau bikin cerita horor, di kantor saja!"

Sang Suami cekikikan sambil menyeruput kopinya. Hampir saja tersedak ia.

"Idih! Ketawa jangan seperti itu ah!" protes Sang Istri.

"Lho, kenapa?"

"Mirip ketawanya Bapak Kepala Cabang Justus. Jijik aku!"

"Duh, kata pujangga siapa ya... wanita itu penuh misteri."

"Ah, kata lagu dangdut kali, Pak."

"Terserah deh."

"Ya sudah itu kopinya diminum. Nanti isinya menguap tersedot kipas angin."

"Tuh, kan. Kau ini nadanya selalu minor bin sinis perihal Justus. Kenapa malah kau aminkan doa para Kepala Cabang itu?"

"Pak, makanya jangan kebanyakan nonton film horor. Otak jadi tumpul."

Hampir saja Sang Suami cekikikan lagi, tetapi ditahannya.

Lanjut Sang Istri alias Konsumen Justus, "Pak, aku percaya keadilan Allah akan dinyatakan suatu saat. Pasti."

"Amin!" sambut Sang Suami.

"Nah, kalau Bapak Direktur sakit, dia akan punya alasan untuk tidak hadir di sidang pengadilan. Ya aku tahu, kelihatannya almustahil sekali Bapak Direktur diseret ke pengadilan. Didemo saja tidak mempan. Tapi kan siapa tahu? Sudah bukan sekali dua kali saja seorang pejabat gagal diadili dengan alasan sedang sakit. Contoh paling besar adalah mantan presiden negeri ini. Keputusan peradilan jadi mengambang karena beliau sudah keburu sakit dan menghembuskan nafas terakhir. Aku tidak mau itu terjadi pada Bapak Direktur Justus. Aku mau dia sehat dan kuat, biar tidak punya alasan untuk tidak hadir di sidang pengadilan.

Aku juga mau dia panjang umurnya, supaya ketika keadilan Allah dinyatakan atas dirinya, orang-orang di sekitarnya bisa menyaksikan."

Sang Suami manggut-manggut. Wanita itu memang penuh misteri. Pantas saja tidak suka film horor. Lha, dirinya sendiri sudah merupakan sebuah misteri. Pantas pula film-film horor di Bobrokan Asih semakin marak laku keras. Lha, mereka semua suka wanita!

Jangan Percaya Kata "Akumulasi"!

Sudah sering kita dengar cerita pelanggan air dan/atau listrik dikagetkan oleh tagihan yang sangat tinggi. Setelah dikonfirmasikan, diberi jawaban bahwa angka tagihan tersebut merupakan akumulasi dari bulan-bulan sebelumnya, karena pencatatan angka meter di bulan-bulan sebelumnya salah. Jangan begitu saja percaya!

Segera PERIKSA SEGEL stan meter air dan/atau listrik. Putus atau tidak?

Jika ternyata putus, segera laporkan dan MINTA GANTI! Kalau prosedurnya lalu menjadi berbelit-belit, komunikasi jadi janggal, alasan "salah catat", "akumulasi", dan serupanya, patut dicurigai.

Untuk memastikan tidak terjadi alasan "akumulasi", pastikan sebagai berikut:
  1. Jangan biarkan bak kontrol air dan/atau boks PLN dalam keadaan terbuka. Kunci! Gembok!
  2. Untuk kepentingan pencatatan para petugas pencatat meter, gunakan papan stan meter yang ditempel di tembok atau pagar.
  3. Catat sendiri selisih kenaikan pemakaian setiap bulannya. Jangan percayakan saja pada petugas pencatat meter!
  4. Simpan catatan angka stan meter setiap bulannya sampai dua tiga tahun.
  5. Periksa angka akhir stan meter yang tertera pada rekening itu apakah sama dengan yang sudah dicatat. Kalau berbeda jauh, segera laporkan. Lagi-lagi, kalau prosedurnya lalu menjadi berbelit-belit, komunikasi jadi janggal, jangan ragu untuk curiga!
  6. Jika ada petugas mau memeriksa stan meter, dampingi terus! Perhatikan apa yang dilakukan. Jangan ditinggalkan ngoprek-ngoprek sendiri di luar.
  7. The last but not the least, jangan terlalu percaya pada sekuriti kompleks rumah sendiri. Tetap perhatikan poin 1 sampai 6 di atas. Siapa tahu saja "iuran" petugas PAM/PDAM/PLN kepada mereka lebih besar daripada iuran kita.
Jika Anda menempati rumah baru, baik sebagai penghuni pertama ataupun penghuni berikut, pastikan:
  1. PERIKSA SEGEL stan meter air dan/atau listrik, putus atau tidak?
  2. Catat angkanya berapa yang tercantum di fisik stan meter. 
  3. Kalau Anda bukan penghuni pertama, minta rekening terakhir PAM dan PLN dari penghuni sebelumnya. Pastikan selisih angka akhir meteran yang tertera di rekening tidak terpaut jauh dengan angka aktual pada fisik stan meter.
  4. Matikan semua aliran air/listrik. Tunggu beberapa saat. Amati apakah jarum stan meter berhenti. Jika tidak juga berhenti, ada kemungkinan ada kebocoran instalasi.

Apa yang telah saya alamilah yang membawa saya untuk tergerak memperingati siapa saja di luar sana. Segel stan meter air saya putus tanpa saya ketahui, dan angka stan meternya naik sebanyak 533 angka hanya dalam waktu 1 bulan.


Ketika saya menghadap ke kantor cabang, saya ditanya:
  1. Apakah ini rumah ibu sendiri?
  2. Apakah rumah ini ibu tempati sendiri?
  3. Apakah ibu menempati rumah ini sejak awal?
Jawabannya semua "ya". Sudah bisa ditebak ke mana arahnya jika salah satu dari pertanyaan itu ternyata jawabannya adalah "tidak".

Cuaca di Negeriku Bukan Sebenarnya

Momotaro-san (bukan nama sebenarnya), memintaku mencarikan data statistik banjir di India (bukan negara sebenarnya) tahun 2010 dan 2011. Katanya, dia sudah tanyakan, baik pada Mister Google maupun pada Google-san, mereka tidak punya data. Barangkali saja, katanya lagi, Mbah Google punya datanya.

Mbah-mbah Google dari Serpong (bukan tempat sebenarnya) sampai Mekong (bukan tempat sebenarnya juga) aku tanyai. Nihil. Kalau ramalan ada. Kalau aktual, tidak ada. Demikian pula pada situs Badan Metro Koq Gede (bukan badan sebenarnya). Barangkali belum diunggah oleh BMKG, pikirku.

Pukul 15:30 ketika itu. Aku telepon ke nomor telepon yang tertera pada situsnya. Nada sambung terus sampai akhir.

"Momotaro-san," kataku. "Tidak ada ya. Di internet tidak ada. Ditelepon tidak diangkat."

"Coba cari lagi di internet. Masa sih tidak ada? Kalau di Jepang (negara sebenarnya) data seperti itu pasti mudah sekali dicari."

"Cuaca di India dan cuaca di Jepang beda ya, Momotaro-san."

Setengah jam kemudian Momotaro-san memanggilku yang sedang asyik bertatap muka dengan komputer. "Apakah sudah dapat?"

"Dapat apa, Momotaro-san?"

"Data banjir itu tadi."

"Oh itu. Sudah saya cari lagi. Tetap saja tidak ada ya, Momotaro-san."

"Apakah memang tidak pernah dicatat ya?" tanya Momotaro-san.

"Saya rasa dicatat..." jawabku ragu.

Melihat bahwa lokasi BMKG singkatan Badan Metro Koq Gede itu tidak jauh dari lokasi kantor kami, aku menawarkan diri untuk pergi ke BMKG mendapatkan data tersebut.

"Bagus. Kebetulan besok saya dinas ke luar kota. Kamu bisa pakai mobil saya untuk ke sana," sahut Momotaro-san. Katanya lagi, "Kalau sudah dapat datanya, tolong email-kan kepada saya secepatnya, supaya bisa saya cek saat di luar kota."

"Hai, ryoukai desu."
#####

Di gerbang masuk BMKG, kepada sekuriti: "Saya dari Bintang Motor (bukan perusahaan sebenarnya). Kami butuh data tentang banjir."

Jawab sekuriti, "Lurus saja, Bu. Lalu belok kanan, lurus, gedung yang baru di seberang mesjid."

Di bagian penerima tamu: "Selamat pagi, Pak," sapaku.

Ketiga petugas berseragam yang duduk di balik meja menatapku dengan semangat. "Bisa dibantu, Bu?" tanya yang duduk di tengah.
"Saya dari Bintang Motor, Pak. Untuk pengembangan penelitian di tempat kami, kami perlu data banjir tahun 2010 dan 2011."

"Silahkan ke Bagian Humas, Bu. Nanti akan diarahkan dari sana."

"Bagian Humas di mana ya, Pak?"

"Pak Baday (bukan nama sebenarnya juga)!" panggil sekuriti yang duduk di tengah.

Seorang bapak di belakangku menengok dan melayangkan pandangan bertanya.

"Ini, Pak," ucap sekuriti dengan mengarahkan telapak tangannya kepadaku.

"Oh," sahut Pak Baday penuh pengertian. Tanpa bertanya apa-apa, aku dipersilahkan Pak Baday masuk ke ruang disebelah meja penerima tamu.

Pak Baday mempersilahkan saya duduk di belakang meja di sebuah ruang kerja. Saya jelaskan keperluan saya.

"Oh kalau itu harus ada surat pengantarnya dulu. Ada?"

"Belum ada, Pak. Surat pengantarnya ditujukan kepada siapa ya, Pak?"

"Ditujukan kepada... kepada... " Pak Baday melayangkan pandangannya ke luar pintu. "Ke Kabag Humas saja."

"Ada nama yang harus saya cantumkan? Kepada siapa, begitu?"

"Ada, ada. Mestinya ada." Pak Baday melayangkan pandangannya ke luar lagi.

"Biar saya tidak bolak balik, saya catat saja namanya, Pak."

"Kita pindah ke sana saja, yuk." Pak Baday berdiri. "Di sini AC-nya terlalu dingin."

Pak Baday mempersilahkan saya ke ruangan yang seperti ruang tamu. Kami duduk di sofa.

"Jadi ditujukan kepada siapa, Pak?"

"Sebentar. Itu staf saya sedang telepon. Saya tidak ingat namanya."

Sesaat kemudian, "Tin, Tin... " panggil Pak Baday kepada seseorang di luar. Datanglah Bu Rintintin (bukan nama sebenarnya juga pasti). Beliau berdiri sambil bersandar di pintu. Pak Baday menjelaskan keperluan saya. Lalu, "Surat pengantarnya ditujukan ke mana ya? Humas kan ya?"

"Ya, ke Humas saja." Bu Rintintin mengangguk mantap.

"Ditujukan kepada siapa? Perlu pakai nama?" tanyaku.

"Tidak perlu. Kabag Humas saja," demikian kudengar.

Kata Pak Baday lagi, "Lalu itu ada transaksinya ya?" sambil melihat kepada Bu Rintintin dengan nada bahwa pertanyaan itu sudah pasti 'iya' jawabannya.

"Benar, benar." Anggukan Bu Rintintin semakin dalam.

"Transaksinya berapa, Pak?" tanyaku.

"Tidak tahu. Bikin saja dulu suratnya."

"Tapi kan saya pasti ditanya berapa transaksinya."

"Belum, belum. Itu nanti. Jadi nanti bawa saja dulu ke sini suratnya. Kita proses datanya. Datang ke sini ambil datanya, baru transaksi."

"Berapa lama datanya bisa saya ambil, Pak?"

"Jamaika (bukan kota sebenarnya) saja kan?"

"Maunya sih seluruh India, Pak."

"Kalau seluruh India, agak lama. Kalau untuk Jamaika (bukan juga kota sebenarnya) saja bisa cepat."

"Nanti siang saya kembali sini bawa suratnya, bisa ya, Pak?" tanyaku lagi.

"Yaaa... bisaaa..."

"Di sini tutup jam berapa?"

"Jam empat."

"Oh, jam empat." Baru saja aku menarik napas lega, kudengar,

"Tapi yang bagusnya itu pagi. Jam 9-an, begitu. Besok saja ke sini lagi."

"Kalau siang ini?"

"Yaaa, jam satu jam dua ya. Sebelum jam dua," ujar Pak Baday sementara Bu Rintintin sudah berpamitan kembali ke singgasananya.

"Ini bukan pungutan liar lho," kata Pak Baday tiba-tiba. "Memang sudah ada resmi tarifnya. Masuk ke kas negara."

"Jadi berapa ya biayanya, Pak?"

"Tidak tahu, tidak tahu."

"Baiklah, nanti siang saya ke sini lagi," kata saya sambil bangkit berdiri.

Seraya berjalan keluar ruangan, Pak Baday yang berjalan di belakang saya bertanya, "Naik apa ke sini?"

"Naik di depan," jawabku.
#####

Kembali ke kantorku, kepada direktur lokal kujelaskan bahwa aku butuh surat pengantar dari beliau sehubungan dengan permintaan Momotaro-san.

Dahi Pak Direktur berkerut seperti kembang tahu yang suka disop itu. "Ah, nggak usahlah! Pasti nanti ada biayannya segala!"

"Memang ada transaksinya, katanya, Pak," sahutku.

"Nah! Itu makanya! Bilang sama Momotaro-san: Di sini buat cari yang begituan harus pakai duit!"

Giliran saya yang bingung bagaimana menerjemahkan kalimat ini ke dalam Bahasa Jepang. Hontou wa hazukashii naa...

Cuaca dan air di negeriku, agak-agaknya serumpun.


Di kota yang sebenarnya, 4 April 2012

Boosting My Spirit

 Means of boosting my spirit before taking Mandarin Class:



 Chicken soup and coffee milk. The most budget meal.

Red rice sushi with chicken chunk fillings.

Salmon sashimi. The highest cost meal.