Cuaca di Negeriku Bukan Sebenarnya

Momotaro-san (bukan nama sebenarnya), memintaku mencarikan data statistik banjir di India (bukan negara sebenarnya) tahun 2010 dan 2011. Katanya, dia sudah tanyakan, baik pada Mister Google maupun pada Google-san, mereka tidak punya data. Barangkali saja, katanya lagi, Mbah Google punya datanya.

Mbah-mbah Google dari Serpong (bukan tempat sebenarnya) sampai Mekong (bukan tempat sebenarnya juga) aku tanyai. Nihil. Kalau ramalan ada. Kalau aktual, tidak ada. Demikian pula pada situs Badan Metro Koq Gede (bukan badan sebenarnya). Barangkali belum diunggah oleh BMKG, pikirku.

Pukul 15:30 ketika itu. Aku telepon ke nomor telepon yang tertera pada situsnya. Nada sambung terus sampai akhir.

"Momotaro-san," kataku. "Tidak ada ya. Di internet tidak ada. Ditelepon tidak diangkat."

"Coba cari lagi di internet. Masa sih tidak ada? Kalau di Jepang (negara sebenarnya) data seperti itu pasti mudah sekali dicari."

"Cuaca di India dan cuaca di Jepang beda ya, Momotaro-san."

Setengah jam kemudian Momotaro-san memanggilku yang sedang asyik bertatap muka dengan komputer. "Apakah sudah dapat?"

"Dapat apa, Momotaro-san?"

"Data banjir itu tadi."

"Oh itu. Sudah saya cari lagi. Tetap saja tidak ada ya, Momotaro-san."

"Apakah memang tidak pernah dicatat ya?" tanya Momotaro-san.

"Saya rasa dicatat..." jawabku ragu.

Melihat bahwa lokasi BMKG singkatan Badan Metro Koq Gede itu tidak jauh dari lokasi kantor kami, aku menawarkan diri untuk pergi ke BMKG mendapatkan data tersebut.

"Bagus. Kebetulan besok saya dinas ke luar kota. Kamu bisa pakai mobil saya untuk ke sana," sahut Momotaro-san. Katanya lagi, "Kalau sudah dapat datanya, tolong email-kan kepada saya secepatnya, supaya bisa saya cek saat di luar kota."

"Hai, ryoukai desu."
#####

Di gerbang masuk BMKG, kepada sekuriti: "Saya dari Bintang Motor (bukan perusahaan sebenarnya). Kami butuh data tentang banjir."

Jawab sekuriti, "Lurus saja, Bu. Lalu belok kanan, lurus, gedung yang baru di seberang mesjid."

Di bagian penerima tamu: "Selamat pagi, Pak," sapaku.

Ketiga petugas berseragam yang duduk di balik meja menatapku dengan semangat. "Bisa dibantu, Bu?" tanya yang duduk di tengah.
"Saya dari Bintang Motor, Pak. Untuk pengembangan penelitian di tempat kami, kami perlu data banjir tahun 2010 dan 2011."

"Silahkan ke Bagian Humas, Bu. Nanti akan diarahkan dari sana."

"Bagian Humas di mana ya, Pak?"

"Pak Baday (bukan nama sebenarnya juga)!" panggil sekuriti yang duduk di tengah.

Seorang bapak di belakangku menengok dan melayangkan pandangan bertanya.

"Ini, Pak," ucap sekuriti dengan mengarahkan telapak tangannya kepadaku.

"Oh," sahut Pak Baday penuh pengertian. Tanpa bertanya apa-apa, aku dipersilahkan Pak Baday masuk ke ruang disebelah meja penerima tamu.

Pak Baday mempersilahkan saya duduk di belakang meja di sebuah ruang kerja. Saya jelaskan keperluan saya.

"Oh kalau itu harus ada surat pengantarnya dulu. Ada?"

"Belum ada, Pak. Surat pengantarnya ditujukan kepada siapa ya, Pak?"

"Ditujukan kepada... kepada... " Pak Baday melayangkan pandangannya ke luar pintu. "Ke Kabag Humas saja."

"Ada nama yang harus saya cantumkan? Kepada siapa, begitu?"

"Ada, ada. Mestinya ada." Pak Baday melayangkan pandangannya ke luar lagi.

"Biar saya tidak bolak balik, saya catat saja namanya, Pak."

"Kita pindah ke sana saja, yuk." Pak Baday berdiri. "Di sini AC-nya terlalu dingin."

Pak Baday mempersilahkan saya ke ruangan yang seperti ruang tamu. Kami duduk di sofa.

"Jadi ditujukan kepada siapa, Pak?"

"Sebentar. Itu staf saya sedang telepon. Saya tidak ingat namanya."

Sesaat kemudian, "Tin, Tin... " panggil Pak Baday kepada seseorang di luar. Datanglah Bu Rintintin (bukan nama sebenarnya juga pasti). Beliau berdiri sambil bersandar di pintu. Pak Baday menjelaskan keperluan saya. Lalu, "Surat pengantarnya ditujukan ke mana ya? Humas kan ya?"

"Ya, ke Humas saja." Bu Rintintin mengangguk mantap.

"Ditujukan kepada siapa? Perlu pakai nama?" tanyaku.

"Tidak perlu. Kabag Humas saja," demikian kudengar.

Kata Pak Baday lagi, "Lalu itu ada transaksinya ya?" sambil melihat kepada Bu Rintintin dengan nada bahwa pertanyaan itu sudah pasti 'iya' jawabannya.

"Benar, benar." Anggukan Bu Rintintin semakin dalam.

"Transaksinya berapa, Pak?" tanyaku.

"Tidak tahu. Bikin saja dulu suratnya."

"Tapi kan saya pasti ditanya berapa transaksinya."

"Belum, belum. Itu nanti. Jadi nanti bawa saja dulu ke sini suratnya. Kita proses datanya. Datang ke sini ambil datanya, baru transaksi."

"Berapa lama datanya bisa saya ambil, Pak?"

"Jamaika (bukan kota sebenarnya) saja kan?"

"Maunya sih seluruh India, Pak."

"Kalau seluruh India, agak lama. Kalau untuk Jamaika (bukan juga kota sebenarnya) saja bisa cepat."

"Nanti siang saya kembali sini bawa suratnya, bisa ya, Pak?" tanyaku lagi.

"Yaaa... bisaaa..."

"Di sini tutup jam berapa?"

"Jam empat."

"Oh, jam empat." Baru saja aku menarik napas lega, kudengar,

"Tapi yang bagusnya itu pagi. Jam 9-an, begitu. Besok saja ke sini lagi."

"Kalau siang ini?"

"Yaaa, jam satu jam dua ya. Sebelum jam dua," ujar Pak Baday sementara Bu Rintintin sudah berpamitan kembali ke singgasananya.

"Ini bukan pungutan liar lho," kata Pak Baday tiba-tiba. "Memang sudah ada resmi tarifnya. Masuk ke kas negara."

"Jadi berapa ya biayanya, Pak?"

"Tidak tahu, tidak tahu."

"Baiklah, nanti siang saya ke sini lagi," kata saya sambil bangkit berdiri.

Seraya berjalan keluar ruangan, Pak Baday yang berjalan di belakang saya bertanya, "Naik apa ke sini?"

"Naik di depan," jawabku.
#####

Kembali ke kantorku, kepada direktur lokal kujelaskan bahwa aku butuh surat pengantar dari beliau sehubungan dengan permintaan Momotaro-san.

Dahi Pak Direktur berkerut seperti kembang tahu yang suka disop itu. "Ah, nggak usahlah! Pasti nanti ada biayannya segala!"

"Memang ada transaksinya, katanya, Pak," sahutku.

"Nah! Itu makanya! Bilang sama Momotaro-san: Di sini buat cari yang begituan harus pakai duit!"

Giliran saya yang bingung bagaimana menerjemahkan kalimat ini ke dalam Bahasa Jepang. Hontou wa hazukashii naa...

Cuaca dan air di negeriku, agak-agaknya serumpun.


Di kota yang sebenarnya, 4 April 2012

No comments: