Nama "Justus" sendiri sebetulnya diambil dari nama kampung halaman Bapak Direktur yang konon falsafahnya adalah keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh warga. Mirip juga ya dengan kata Bahasa Inggris "justice" yang berarti "keadilan".
Di seluruh Bobrokan Asih tidak ada yang bisa memproduksi jus seperti Jus Justus. Bukannya tidak ada yang mampu. Justru sebaliknya, banyak yang lebih mampu. Masalahnya, mesin utama yang dipakai untuk mengolah buah-buahan yang berwarna warni menjadi bening bagaikan air ledeng itu dikuasai oleh negara. Hal tersebut berlandaskan pada undang-undang Negeri Bobrokan Asih yang berbunyi:
"Tanah, hujan, buah-buahan, dan jus, dikuasai oleh negara."
Kalau dikuasai negara, memangnya kenapa? Pasti kau bertanya seperti itu. Begini, Bapak Direktur Justus punya hubungan sangat erat dengan para pemimpin negara. Jangan tanya, hubungan seperti apa. Akupun tak tahulah. Pokoknya, ada hubungan.
Nah, kalau kata si bule nih ya, Bapak Direktur itu jadi dapat privilege untuk menjalankan mesin pengolah buah-buahan karena punya hubungan khusus. Tak sedikit sebenarnya yang menentang keras kekuasaan yang diberikan kepada Bapak Direktur ini. Ya iyalah, Bapak Direktur ini ya, sekolahnya itu jurusan tukang las solder. Masakan tukang las jualan jus?
Namun latar belakang sekolah tukang las solder itu nampaknya tidaklah sia-sia. Hubungan Bapak Direktur dengan para petinggi negara dilasnya sedemikian eratnya hingga tak dapat dilepaskan oleh siapapun atau apapun. Mantap tenan pisan sungguh!
Suatu hari, Bapak Direktur berdoa begini:
"Ya Robb...beri aku kesehatan dan kekuatan, agar aku bisa membantu mewujudkan mimpi orang-orang di sekitarku."
Serta merta para Kepala Cabang serentak menyahut, "Amiiin!"
Sementara mereka mengawasi para bawahan mereka mengisi kaleng-kaleng jus, tak hentinya mereka mengaminkan doa Sang Direktur. Pada kaleng-kaleng jus itu tertera "Isi nett 250 ml", sedangkan isi sesungguhnya hanya 200 ml. Dalam perhitngan neraca rugi laba, nilai penjualan yang tertera adalah untuk produksi sebanyak 250 ml per kaleng. Biaya bahan baku dihitung senilai 250 ml per kaleng, sedangkan pada kenyataannya bahan baku yang dikeluarkan hanya sebesar 200 ml per kaleng.
Sudah beberapa konsumen yang menyadari bahwa isi bersih kaleng Jus Justus sebenarnya bukan 250 ml. Namun setiap kali ada konsumen yang memprotes kenyataan tersebut, Kepala Cabang hanya tertawa-tawa. Katanya,
"Mana kami tahu? Bukankah Ibu sendiri yang membuka kalengnya?"
"Ya saya buka dan tuangkan ke gelas ukur, ternyata hanya 200 ml isinya, Pak."
"Baju Ibu basah tidak waktu itu? Mungkin 50 ml itu tumpah ke baju Ibu sewaktu membuka kalengnya."
"Saya sudah pastikan waktu itu baju saya kering, sepatu saya kering, di bawah meja dan kursi juga tidak ada tumpahan jus."
"Ibu kan pakai kipas angin di rumah. Pasti tersedot oleh angin, Bu."
"Masakan kipas angin bisa menyedot sampai 50 ml cairan dalam sekejap tanpa bekas?"
"Huahahaha! Ya bisa saja, Bu!"
Konsumen Justus merasa bahwa alasan yang diungkapkan Bapak Kepala Cabang itu bukan saja mengada-ada, tetapi keterlaluan. Mungkinkah Bapak Kepala Cabang memang sudah tahu bahwa isi kaleng sesungguhnya adalah 200 ml?
Dengan rasa penasaran yang menggunung, Konsumen Justus melayangkan surat pengaduan kepada Bapak Direktur. Akan tetapi, jawaban yang diterima Konsumen Justus semakin membuatnya bingung alang kepalang. Begini kata Bapak Direktur,
"Saya tidak mungkin memberi harga diskon kepada Ibu. Kalau saya menjual 250 ml jus dengan harga 200 ml, saya bisa dipenggal oleh Presiden Bobrokan Asih."
"Pak Direktur," kata Konsumen Justus. "saya bukan minta keringanan harga. Saya menyampaikan keberatan akan isi kaleng yang tidak sesuai dengan tulisan yang tertera pada kaleng."
Jawab Direktur Justus, "Ibu ini koq susah diajak mengerti ya? Kalau Ibu mau minta kaleng jus yang Ibu beli itu diganti, nanti saya suruh staf saya mengantarkan satu kerat kaleng ke rumah Ibu. Kapan Ibu bisa?"
Jangan-jangan Bapak Direktur juga tahu bahwa isi bersih kaleng Justus tidak sesuai dengan angka yang tertera pada kalengnya, pikir Konsumen Justus.
*****
"Ya Robb...beri Bapak Direktur kesehatan dan kekuatan, agar beliau bisa membantu mewujudkan mimpiku," doa Bapak Kepala Cabang dengan tambah semangat.
Konsumen Justus turut serta mengaminkan. "Amiiinnn!" ucapnya dengan kesungguhan penuh.
Suami Konsumen Justus memandanginya dengan heran teramat sangat. "Bukankah kau merasa ditipu, karena membayar seharga 250 ml jus, sedangkan yang kau minum hanya 200 ml?"
"Tentu saja!" tandas istrinya berapi-api.
"Lalu? Mengapa kau aminkan doanya? Bukankah kau juga merasa jijik dengan gaya hidup Bapak Direktur yang kelihatannya soleh, tetapi membiarkan hak konsumennya tertindas?"
"Lha, aku kan juga orang yang taat beragama. Memangnya Bapak Direktur saja yang taat beragama?"
"Iya, iya, aku tahu. Itulah juga sebabnya aku menikahimu dulu, karena kau wanita yang taat beragama."
"Nah! Bapak sudah tahu. Kenapa pula sekarang Bapak bingung?"
"Ah istriku... kau memang wanita yang sangat soleh. Bagi orang yang sudah merugikan bahkan mempermainkanmu, kau masih turut mendoakan agar dia sehat dan kuat. Sungguh, aku bangga padamu."
Sang istri pura-pura tidak dengar dipuji. Ia asyik mempersiapkan dua cangkir kopi. Ya memang konon wanita itu bisa multitasking.
"Tadinya aku pikir," lanjut Sang Suami lagi. "kau akan mendoakan Bapak Direktur biar cepat mampus. Kalau perlu, biar terlindas buldozer dan dibuat jus. Kan tubuh manusia itu 90 persen terdiri dari air. Jadi..."
"Ih, Bapak apaan sih?! Horor sekali ceritanya! Nanti malam aku tidak bisa tidur nih membayangkan itu. Sudah ah! Kalau mau bikin cerita horor, di kantor saja!"
Sang Suami cekikikan sambil menyeruput kopinya. Hampir saja tersedak ia.
"Idih! Ketawa jangan seperti itu ah!" protes Sang Istri.
"Lho, kenapa?"
"Mirip ketawanya Bapak Kepala Cabang Justus. Jijik aku!"
"Duh, kata pujangga siapa ya... wanita itu penuh misteri."
"Ah, kata lagu dangdut kali, Pak."
"Terserah deh."
"Ya sudah itu kopinya diminum. Nanti isinya menguap tersedot kipas angin."
"Tuh, kan. Kau ini nadanya selalu minor bin sinis perihal Justus. Kenapa malah kau aminkan doa para Kepala Cabang itu?"
"Pak, makanya jangan kebanyakan nonton film horor. Otak jadi tumpul."
Hampir saja Sang Suami cekikikan lagi, tetapi ditahannya.
Lanjut Sang Istri alias Konsumen Justus, "Pak, aku percaya keadilan Allah akan dinyatakan suatu saat. Pasti."
"Amin!" sambut Sang Suami.
"Nah, kalau Bapak Direktur sakit, dia akan punya alasan untuk tidak hadir di sidang pengadilan. Ya aku tahu, kelihatannya almustahil sekali Bapak Direktur diseret ke pengadilan. Didemo saja tidak mempan. Tapi kan siapa tahu? Sudah bukan sekali dua kali saja seorang pejabat gagal diadili dengan alasan sedang sakit. Contoh paling besar adalah mantan presiden negeri ini. Keputusan peradilan jadi mengambang karena beliau sudah keburu sakit dan menghembuskan nafas terakhir. Aku tidak mau itu terjadi pada Bapak Direktur Justus. Aku mau dia sehat dan kuat, biar tidak punya alasan untuk tidak hadir di sidang pengadilan.
Aku juga mau dia panjang umurnya, supaya ketika keadilan Allah dinyatakan atas dirinya, orang-orang di sekitarnya bisa menyaksikan."
Sang Suami manggut-manggut. Wanita itu memang penuh misteri. Pantas saja tidak suka film horor. Lha, dirinya sendiri sudah merupakan sebuah misteri. Pantas pula film-film horor di Bobrokan Asih semakin marak laku keras. Lha, mereka semua suka wanita!