Pintu, Kunci, dan Pak Darwin

Hidup tanpa impian tentulah hidup yang membosankan. Demikianlah halnya dengan Pintu, Kunci, dan Pak Darwin. Pintu sudah jenuh terus menerus terikat pada Kusen. Setiap kali Pintu mau maju, Kusen selalu mencengkeram engselnya dengan sangat erat. Akhirnya Pintu mundur kembali. Tetapi sambil mundurpun, Kusen tak sudi melepaskan sedikitpun cengkeramannya. Kadang Kusen mencengkeram Pintu dengan begitu eratnya, sampai-sampai melalui engselnya Pintu berteriak-teriak. Pintu bermimpi bahwa suatu hari nanti ia akan terlepas dari Kusen.

Lain lagi kisahnya dengan Kunci dan Pak Darwin. Kunci sadar betul bahwa dia kecil dan dia cuma sebagai alat. Kunci sadar betul bahwa Pak Darwin senantiasa mengantongi dia bukan karena kulit keemasannya, melainkan karena Pak Darwin membutuhkannya untuk membuka Pintu. Ketika Pintu berhasil terbuka, besar kemungkinan Pak Darwin akan membiarkan Kunci tergantung di Pintu dan tak seorangpun menyadari keberadaan Kunci di Pintu. Kunci, meskipun kecil, cukup cerdas untuk membaca impian Pak Darwin menguasai ruang sebelah.

Sebetulnya Kunci bisa saja perlahan-lahan merobek saku Pak Darwin dan membebaskan diri dari Pak Darwin. Namun Kunci memilih tetap di situ.  Kunci juga punya impian. Impiannya adalah untuk melihat dunia yang lebih luas. Untuk itu dia membutuhkan tangan Pak Darwin untuk memasukkan dia ke dalam lubang kunci. Dari sanalah dia akan ikut berkelana dan melihat dunia.

Sementara itu, Pak Darwin merasa jengkel, karena ketika Kunci dimasukkan ke dalam lubang kunci yang ada di Pintu, Kunci seakan enggan bekerja. Dengan sekuat tenaga Pak Darwin berusaha memutar Kunci, tetapi Kunci seakan menolak untuk merubah sikapnya.

Kunci merasa sakit, karena dipaksa untuk berputar. Namun Kunci berusaha keras menahan sakit itu dan tetap sabar. Ketika sakit dirasa, Kunci cepat-cepat mengingat impiannya. Suatu hari, siapa tahu Pintu akan diganti. Ketika Pintu diganti, mungkin lubang kuncinya akan cocok dengan dirinya, sehingga dia bisa bekerja dengan baik ketika tangan Pak Darwin memutarnya. Siapa tahu.

Hari demi hari, bulan demi bulan berganti. Impian Pak Darwin belum juga terwujud. "Baiklah," katanya kepada Kunci. "Saya akan membuka Pintu sendiri bersama teman-teman saya yang ada di sini! Maaf saya telah merepotkanmu dengan menjebloskan kamu berkali-kali ke dalam lubang kunci."

Pak Darwin pun melemparkan Kunci ke lantai. Kunci tidak putus harap. Suatu hari, impiannya akan tercapai.

Pak Darwin mengambil obeng dan mencongkel lubang kunci yang ada di Pintu. Pintu pun akhirnya bisa terbuka. Didorongnya pintu selebar-lebarnya. Ah... inilah dunia yang diimpikan selama ini! Akhirnya...!

Pintu girang bukan main. Setiap kali Angin datang, dia minta supaya Angin membantunya. Maka, berderit-deritlah Pintu dengan engselnya. Dia berusaha sekuat tenaga untuk terlepas dari Kusen. Nihil selalu. Angin kelelahan, lalu pergi. Namun lagi-lagi Pintu tidak putus harap. Suatu hari, impiannya akan tercapai.

Pak Darwin melangkahkan kakinya lebar-lebar di ruang sebelah. Dari ujung ruangan sampai ujung ruangan dia langkahi. Dibentangkan tangannya lebar-lebar. "Impianku tercapai!" teriaknya keras-keras hingga memantul suaranya pada dinding ruangan yang masih kosong itu.

Tiba-tiba teman-teman Pak Darwin lewat. "Hey!" teriak yang satu kepada yang lainnya. "Mengapa Pintu terbuka? Bukankah ruang sebelah seharusnya ditutup?"

"Ya, aku pikir, sebaiknya ditutup saja," sahut salah satu dari mereka.

Dengan gaya khasnya mencari muka, anak buah mereka cepat-cepat menghampiri, "Benar sekali, Pak. Sebaiknya ditutup saja. Kalau dibuka, nanti takutnya merusak image, Pak!"

Teman Satu menepuk-nepuk pundak anak buahnya. "Kamu memang smart!"

Merasa mendapat angin, anak buah ini semakin bersemangat dan otak licinnya berputar cepat. Aha! Impiannya sebentar lagi tercapai! Mudah-mudahan. "Pak, maaf ya, bukan maksud saya untuk sok tahu lho ya, Pak. Tapi ya, Pak, apa kata dunia jika orang melihat ruang sebelah yang kosong melompong itu?"

"Benar, benar," sahut Teman Dua sambil manggut-manggut. "Ya sudah sana, cepat tutup Pintu ruang sebelah!"

Sang Anak Buah menghampiri Pintu, lalu menarik pegangannya. Pintu sendiri hampir saja membuang impiannya. Sungguh benci rasanya dia pada Kusen. Dipejamkannya matanya erat-erat, supaya tidak dilihatnya Kusen. Namun, sementara Sang Anak Buah menarik dirinya, dia bisa merasakan tangan Kusen membelai punggungnya perlahan-lahan. Hihhh! Jijik sekali rasanya. Dipejamkan matanya semakin erat, sampai tiba-tiba...

"Biarkan saja Pintu terbuka." Terdengar suara Pak Darwin yang lembut. Pak Darwin yang diplomatis dan selalu bermain manis, memang selalu lembut tutur bicaranya.

Sang Anak Buah sekali lagi memutar otaknya dengan cepat. Dia tahu posisinya. Membantah Pak Darwin bisa mengacaukan karirnya di kemudian hari. Namun dia juga harus memuaskan teman-teman Pak Darwin, jika dia ingin mencapai impiannya.

"Ah, Pak Darwin, tadinya saya pikir seorang yang pembawaannya tenang dan lembut seperti Bapak akan lebih optimal kerjanya di tempat yang tenang. Di luar sini gaduh sekali, Pak. Yah... pasti Pak Darwin tahu sendirilah bagaimana kalau teman-teman Bapak itu sudah mulai becanda. Ngomong joroknya keluar semua. Sedangkan saya tahu Bapak orang soleh. Jadi saya pikir, sebaiknya Pintu ditutup saja. Maaf, Pak, ternyata saya keliru ya?"

Kata-kata Sang Anak Buah membuat Pak Darwin berpikir. Dia tidak mau oleh Sang Anak Buah dianggap sama dengan teman-temannya yang dipandang tukang becanda yang jorok-jorok itu. Dia sudah dinobatkan sebagai "Orang Soleh". Dia harus menjaga image itu.

"Ah, ternyata kamu perhatian pada saya ya."

Sang Anak Buah menunduk sambil tersenyum malu-malu dibuat-buat.

"Tolong nanti tutup Pintu yang rapat ya," kata Pak Darwin lagi.

Sang Anak Buah mengangkat kepalanya, melayangkan sebuah senyum kepada Pak Darwin, membungkuk sedikit, menunduk, lalu kembali menarik pegangan Pintu. Seeettt... Hah...

Di balik Pintu, Sang Anak Buah mendongakkan kepalanya kembali, meluruskan badannya, dan menarik napas lega. Hah... Selamaaattt...!!

Settt..?? Lho?? Pintu tidak bisa rapat!! Gawat!!

"Ngiiiikkk!! Ngiiikkk!!" Kini melalui lubang kuncinya Pintu berteriak-teriak.

Teriakan... hmmm, lebih tepatnya pekikan, Pintu, terdengar hingga ke seluruh penjuru ruangan kantor. Telinga seluruh karyawan dibuat ngilu olehnya. "Ngiiiikkk!! Ngiiikkk!!"

Teman Satu dan Teman Dua yang sedang cekikikan di depan komputer terperanjat dari kursi mereka. Suara ngilu seperti itu pasti bukan datang dari YouTube di depan mereka.

"A Be (Singkatan dari 'Anak Buah' - red.)!" teriak Teman Satu pada Sang Anak Buah. "Tutup Pintu saja koq lama dan susah betul?!?"

Gawat! Sang Anak Buah tahu betul bahwa impiannya terletak di tangan Teman Satu dan Teman Dua. Putar otak, cepat!!

Hasil kalkulasi instan di otak Sang Anak Buah menunjukkan bahwa Jalur Apa Adanya adalah jalur terbaik saat ini. Maka, "Maaf, Pak. Saya sudah berusaha menarik Pintu rapat, tetapi tidak bisa rapat juga. Jika saya perhatikan pada lubang kuncinya, sepertinya ada kerusakan di situ. Barangkali sudah waktunya diganti, Pak."

Teman Satu dan Teman Dua sama-sama menghampiri Pintu. Kepala mereka berdua menempel berdampingan di depan lubang kunci sama seperti tadi di depan komputer. Hening.

Masih dalam posisi keduanya membungkuk, mereka lalu berpandang-pandangan. Jantung mereka berdegup dua kali lebih keras. Tatapan mata mereka membaca satu sama lain.

"A Be," kata Teman Dua yang sudah lebih dulu pulih dari kekagetannya. "Pintu harus diganti."

Sang Anak Buah masih ingin membuktikan bahwa dia memang smart. "Bagaimana kalau saya ganti rumah lubang kuncinya saja? Daripada mengganti seluruh Pintu, tentu akan lebih menghemat biaya."

"A Be..." ujar Teman Satu yang kini sudah pulih dari kekagetannya juga. "Ruangan ini sudah dibobol orang. Ini suatu tanda yang bisa merusak image kita. Bahaya, kalau Bapak Direktur sampai tahu. Jika rumah lubang kuncinya saja yang diganti, bekas pembobolannya masih bisa terlihat, karena Pintu sudah sedikit lecet di sekitar lubang kunci."

Otak A Be, Sang Anak Buah, memang selalu bisa berputar lebih dari tiga ratus enam puluh derajat. "Pak!" soraknya seakan-akan baru kejatuhan bulan. "Setelah ruangan ini dipasangi pintu baru, Pintu yang lama ini saya copoti engselnya, copot rumah lubang kuncinya, amplas pinggir-pnggirnya, cat ulang semua, lalu dimiringkan jadi horisontal. Nanti bisa ditaruh di lobby sebagai sekat pembatas tempat duduk tamu. Pasang dua bor saja di lantai, pasti Pintu akan kokoh di situ. Lalu..."

Teman Satu dan Teman Dua memandang A Be dengan takjub.

"Lalu, Pak," lanjut A Be. "Bagian bolong yang bekas rumah lubang kunci itu digantungi hiasan, misalnya: bunga. Pasti akan jadi sentuhan yang memberikan image yang baik tentang perusahaan kita kepada tamu-tamu yang bertandang kemari."

Teman Satu dan Teman Dua masih terdiam. Dalam pikiran mereka berkecamuk demikian: "Orang ini sungguh cerdas. Kalau jabatannya dinaikan, bisa-bisa kami nanti tersusul. Bisa-bisa dia malah menjadi atasan kami. Oh, tidak!"

Pintu tegak berdiri mendengar seluruh percakapan. Ketika Angin berhembus, ia tarik tangannya, dan menarilah mereka bersama. Derit-derit engsel Pintu kembali terdengar. Kali ini, derit-derit keriangan. Pintu seakan tak percaya ketika Sang Anak Buah menancapkan obeng pada engselnya. Saat-saat terakhir memang agak menyakitkan, karena Sang Anak Buah menghantam tangan dan kakinya keras-keras. Namun, segera diingatnya impiannya. Sakit itupun hilang rasanya. Akhirnya, ia bisa bebas dari Kusen.

Sang Anak Buah mengaduk-aduk isi gudang. Ia tak menemukan lubang kunci dan anak kunci yang cocok untuk dipasangkan di pintu yang baru. Sementara itu ruang sebelah terus melongo. Pak Darwin mulai resah. Karyawan-karyawan lain lalu lalang di depan ruang sebelah. Satu persatu mulai merasa ada kejanggalan. Lalu entah kabar burung dari mana, tersiarlah isu bahwa Pak Darwin telah diam-diam mencongkel lubang kuncinya Pintu untuk mencuri Kusen.

"Mencuri Kusen?? Untuk apa??" bisik karyawan satu kepada yang lainnya.

"Ada apa sih? Sepertinya seru nih," ujar Bu Sekretaris. Biasalah, kaum hawa haus gosip hangat.

"Itu lho, Pak Darwin."

"Pak Darwin? Kenapa dia?"

"Dia bobol Pintu ruang sebelah supaya bisa mencuri Kusen."

"Mencuri Kusen?? Untuk apa??"

Musik tanda istirahat siang pun mengalun. Langkah-langkah menuju ruang makan hari ini lebih ramai daripada biasanya, karena diiringi suara desas desus di antara para karyawan. Suasana di dalam ruang makan pun lebih hangat hari ini. Desas desus pun berlanjut sampai di depan pintu musholla. Bunyinya sekarang:

"Gue nggak abis pikir. Ngapain juga sih si Pak Darwin itu mengantongi engsel Pintu?"

Sementara itu, di dalam gudang Sang Anak Buah sudah memutar otaknya lima kali tiga ratus enam puluh derajat. Dia masih belum menemukan lubang kunci dan anak kunci yang cocok. Kalau dia mengajukan memo untuk membeli lubang kunci baru, pasti berantakan sudah image smart yang telah dianugerahkan kepadanya. Sudah impian tak tercapai, gelar smart dicopot pula. A Be lemas. Sekarang dia tinggal memutar otak untuk mengkalkulasi cara terbaik meratapi nasibnya.

Tiba-tiba... "Mas, Mas..." terdengar suara Dik Klining Serfis.

"Iya, Kis, ada apa?" sahut A Be tak bersemangat. "Makan saja dulu sana."

"Bukan. Iki lho, Mas. Tadi ada di lantai." Dik Klining Serfis menunjukkan Kunci kepada A Be.

"Oh... Terima kasih ya, Kis." A Be masih tak bersemangat. Apa gunanya kunci tanpa lubang kunci, pikirnya.

A Be menelungkupkan kepalanya di antara kedua dengkulnya. "Aku smart," desisnya lirih pada dirinya sendiri.

"Ah, barangkali," pikir A Be lagi. "cara memutar anak kunci juga berpengaruh."

Maka diraihnyalah anak kunci yang ada paling dekat dengannya. Itulah Kunci yang baru saja diserahkan Dik Klining Serfis kepadanya. Sang Anak Buah memasukkannya ke dalam lubang kunci yang dia ambil dari dalam kardus tadi. Tiba-tiba...! Klik!

"KLIK!" Kunci menjerit lebih keras ketika A Be memutarnya untuk kedua kalinya. Jeritan keriangan.

Dengan cekatan Sang Anak Buah alias A Be memasang lubang kunci pada pintu ruang sebelah yang baru. Siap!

Kunci menggantung dengan manisnya. Dia telah berkelana. Dia sudah melihat dunia. Impiannya telah tercapai.

Rasa percaya diri A Be jadi semakin kuat. Ia percaya sungguh-sungguh bahwa ia smart. Otaknya kini kembali berputar-putar. Selesai sholat, dihampirinya Teman Satu dan Teman Dua, "Pak, nanti kalau Bapak Direktur inspeksi ke sini, jangan lupa tunjukkan sekat baru yang telah Bapak-Bapak buat di lobby. Biar image kita bagus di mata Bapak Direktur."

"Oh ya, ya, ya! Tentu, tentu!" Teman Satu dan Teman Dua menganngguk-angguk serempak. Lega.

No comments: