Backpacker: Apa Benar Hemat?

"Coba baca buku ini," demikian saran seorang pimpinan di kantor saya. Buku itu adalah kisah perjalanan ke Vietnam dalam tempo 15 hari dengan biaya 2 jutaan. Karena saya sudah beberapa kali ke Vietnam, saya jadi penasaran. Koq bisa?

Ternyata "2 jutaan" itu tidak termasuk tiket pesawat. Oke, itu sudah menjawb setengah dari rasa penasaran saya. Dari situ saya mulai membaca buku-buku tentang pengalaman backpacker lainnya. Ada lagi yang membanggakan bisa keliling Eropa dengan biaya 500 ribuan rupiah per bulan. Rasa penasaran saya yang sudah terobati lima puluh persen jadi mengembang lagi. Koq bisa?

Ternyata bukan saja tiket pesawatnya tidak dihitung, akomodasinya nebeng di rumah sesama backpacker, sehingga dalam daftar pengeluaran tertera "nol" untuk akomodasi. Demikian pula untuk biaya transportasi. Karena memakai metode hitching, biaya transportasinya "nol".

Rupanya taktik dagang juga berlaku untuk menjual tulisan. Saya jadi terpancing untuk membeli buku-buku tersebut dan membacanya. Bukan untuk mengetahui bagaimana keadaan negara yang dituju, melainkan lebih untuk menjawab pertanyaan "koq bisa?".

Kebanyakan backpacker itu mendapatkan tempat berteduh gratis itu melalui jejaring backpacker internasional. Jika menjadi anggotanya, pada saat ada yang berkunjung ke negara kita, maka kitalah yang menjadi tuan rumah. Salah satu penulis mengatakan bahwa tidak harus kita menerima tamu backpacker di rumah kita.

Memang tidak harus sih. Tetapi, saya bertanya-tanya di dalam hati. Seandainya saya numpang berteduh di rumah si A pada saat berkunjung ke negaranya, apakah mungkin saya sampai hati untuk menolaknya ketika si A itu mohon berteduh di rumah saya? Apabila si A berteduh di rumah saya, apakah mungkin saya sampai hati tidak menyediakan makanan sama sekali? Secara Jakarta semakin panas oleh matahari maupun penduduk yang semakin berlimpah, apakah saya akan sampai hati melarangnya menghidupkan AC yang barangkali bisa terus menerus sampai pol, apabila si A itu berasal dari negara kutub. Lalu apakah saya akan sampai hati tidak mengajak si A berjalan-jalan?

Sementara saya membayangkan hari-hari saya bersama si A, otak saya mulai berhitung. Berapa yang harus saya sediakan untuk membeli makanan? Meskipun kadang saya makan malam atau sarapan hanya dengan sepotong roti atau pop mie, saya tidak mungkin melakukan itu jika si A bertamu di rumah saya.

Berapa harikah si A tinggal di rumah saya? Pada akhir bulan berapa besar tagihan listrik saya akan bertambah untuk pemakaian AC dan water heater?

Saya tidak punya kendaraan. Pada umumnya saya naik angkot. Masakan si A akan saya ajak jalan-jalan naik angkot? Kalau si A kulitnya kuning seperti saya sih mending. Kalau tinggi bule blas gitu masa mau dimasukkan di angkot? Indonesia gitu lho. Jadi naik taksi? Nah, kalau naik taksi, apa si A yang bayar? Atau saya harus beli mobil dulu sebelum bisa backpackeran keliling dunia?

Kalau saya mengajak si A berjalan-jalan, kemungkinan besar akan saya ajak ke tempat yang sudah pernah saya kunjungi, biar nggak nyasar. Nah, siapa yang akan menanggung biayanya?

Memang pengalaman yang didapatkan dengan kedatangan si A itu tentu merupakan sesuatu yang tidak bisa dinilai dengan uang, Tetapi, kenyataan bahwa dengan kedatangan si A ada pengeluaran ekstra yang kemungkinan besar tidak kecil itu tidak bisa dipungkiri. Pada akhirnya, seperti kata pepatah Cina, hutang budi dibawa sampai mati. Artinya, dengan pernahnya saya menginap di rumah si A ataupun backpacker lainnya, saya berhutang budi; dan hutang itu harus saya bawa sampai mati yang dengan kata lain tidak akan ada lunasnya.

Setelah otak saya berhitung dengan berakhir pada pepatah Cina, saya memandang berkeliling rumah saya yang 34/60. Beberapa atap bocor belum sempat saya perbaiki. Pintu kamar mandi yang cuma satu-satunya sudah hancur sebagian. Alasan belum memperbaikinya adalah ketiadaan dana dan juga waktu. Lha habis setiap kali libur kerjanya jalan-jalan, kapan ada waktunya? Demikian juga uangnya habis dipakai jalan-jalan terus. Lagipula rumah 34/60 yang dicapai dengan keluar masuk gang ini apakah pantas untuk disinggahi si A? Masakan saya harus pindah rumah dulu supaya siap menjadi anggota jejaring backpacker?

Saya percaya bahwa di dunia ini tidak ada yang gratis. Semua itu ada harganya. For everything there is a price.

No comments: