Hampir setiap kali saya habis pulang berjalan-jalan, ada yang bertanya, "Perginya
backpacker-an ya?"
Saya selalu bingung menjawab pertanyaan ini. Apa sih definisi
backpacker itu sebenarnya? Pernah saya layangkan pertanyaan ini kepada 2 milis komunitas tukang jalan. Tidak ada satupun feedback yang saya terima. Saya baca beberapa buku yang berkisah tentang pengalaman para backpacker. Saya semakin bingung.
Yang pasti, kalau berpergian ke luar negeri, saya tidak suka traveling dengan mengikuti sebuah tour dari Indonesia. Alasannya?
- Kesempatan untuk mengalami langsung kehidupan atau budaya penduduk setempat akan berkurang (banyak). Saya tidak akan mengalami misalnya, menyeberang pulau sekapal dengan turis asing lainnya. Saya tidak akan mengalami "susah"nya di negeri orang, karena semua sudah diatur oleh biro perjalanan. Saya memang tidak menjadi susah, tetapi saya juga tidak menjadi tahu "aslinya". Pulang-pulang yang saya tahu masih "katanya". I want firsthand experience.
- Itinerary tur-tur Indonesia, maaf kata, biasanya isinya makan, belanja, makan, belanja, makan, belanja, makan, makan. Bahkan tur yang diadakan sebuah lembaga sekolah fotografi ternama pun bisa seperti itu. Namanya sekolah fotografi, tetapi fotogarfi bukan prioritas.
Lalu apakah karena saya tidak ikut tur, maka saya bisa disebut seorang backpacker? Saya senang membuat itinerary. Membayangkan sesuatu, merancang, dan mewujudkannya itu mungkin memang talenta saya. Sedangkan dari buku-buku yang saya baca, tidak semua backpacker punya itinerary matang seperti saya sebelum berangkat ke suatu tempat.
Kalau mau punya itinerary matang seperti saya, waktu menjadi sangat penting. Sedangkan kalau demi mengejar budget harus pakai metode
hitchhiking, itinerary bisa jadi berantakan apabila tidak mendapatkan tumpangan pada saat yang sudah dijadwalkan. Demikian juga apabila demi mengejar budget harus menginap di rumah orang, tentulah saya menjadi tidak bisa semau-mau saya kapan pergi dan kapan pulang.
Selain itu, sebagai seorang wanita, saya agak ngeri
hitchhiking di negeri orang. Saya juga tidak begitu suka menginap di rumah orang, karena saya tidak mau jadi berhutang budi. Lebih baik saya berhutang uang ke hotel yang jelas berapa nominalnya daripada saya berhutang budi yang kata pepatah Cina dibawa sampai mati itu. Kalau saya hidup sampai umur 100 tahun, bisa numpuk tuh hutang budi saya. Sedangkan hutang budi lainnya sudah sangat banyak.
Saya pernah membaca sebuah buku seorang backpacker Indonesia yang pergi ke Cina. Dia berpergian pada saat Tahun Baru Cina. Dia tidak memesan tiket kereta di muka. Alhasil dia terpaksa menginap di stasiun satu malam dan 1 hari itu jadi terbuang. Habis itu dia membanggakan bahwa bisa keliling Cina hanya dengan 2 jutaan rupiah untuk 16 hari. Ini sama sekali bukan gaya saya. Saya bisa nangis bombay kalau 1 hari terbuang percuma begitu. Waktu itu tidak pernah bisa dibayar dengan uang. Lagipula, ada-ada saja cari tiket kereta di hari H pada saat Tahun Baru Cina seperti itu. Apa masih kurang warga keturunan Cina di Indonesia sampai tidak mengantisipasi budaya orang Cina menjelang tahun baru itu bagaimana? Apa tidak bisa membayangkan membeli tiket kereta di hari H pada Hari Raya Lebaran di Indonesia? Bayangkanlah seperti apa stasiun keretanya. Di Cina pada saat Tahun Baru Cina pun akan sama. Koq yang seperti itu tidak diperhitungkan?
Dengan prinsip menghemat waktu ini, biaya perjalanan saya bisa menjadi tidak hemat apabila dibandingkan dengan mereka yang memproklamirkan dirinya seorang backpacker. Contohnya, saya lebih memilih sewa mobil daripada naik ojek. Bukan karena saya haram naik motor. Kalau naik motor, barang bawaan menjadi sangat terbatas. Saya selalu berusaha
travel light se-
light mungkin. Namun perlengkapan kamera saya sendiri sudah satu ransel plus tripod. Satu tas lagi untuk pakaian. Itupun masih untung saya bukan tukang belanja. Kalau tas pakaian ditinggal di penginapan saat saya berkeliling, berarti akan ada waktu yang diperlukan untuk kembali ke penginapan mengambil tas. Sedangkan jika sewa mobil, tidak perlu kembali ke penginapan jika itu hanya untuk mengambil tas. Bisa langsung lanjut ke tujuan berikut. Dengan demikian, dengan waktu yang singkat, akan lebih banyak tempat yang bisa saya singgahi.
Keuntungan lain dengan sewa mobil, apabila hujan, bisa tetap jalan terus. Siapa tahu di tempat tujuan nanti cuacanya cerah. Kalau naik ojek, jika di tengah jalan hujan deras, pasti saya akan khawatir bukan main. Bukan atas diri saya, tetapi atas kamera dan saudara-saudaranya. Terpaksa harus berhenti dulu. Lagi-lagi waktu terbuang. Saya tidak suka memboroskan uang, tetapi saya lebih benci memboroskan waktu.
Nah, jadi apakah saya seorang backpacker?
Ketika saya pergi ke Vietnam untuk kedua kalinya, pada hari pertama saya menulis status di FB begini:
Arrived in a 80% backpacker style.
Teman seperjalanan saya merespon. "
80%? Perasaan udah 120%. Punggung gue sampe sekarang belum ilang pegelnya."
Itu karena ternyata hotel bintang satu kami tidak punya elevator, sehingga kami harus membawa barang bawaan kami dengan menaiki tangga sampai lantai 4. Lha dulu saya sudah pernah mesti menggendong ransel
secara manual sampai ke lantai 8. Dan saya masih berpikir bahwa saya sedang menikmati hidup yang agak mewah karena satu kamar hanya untuk 2 orang, tempat tidur ala spring bed, ada AC, dan di dalamnya ada kamar mandi dengan shower yang ber-air-panas 24 jam, yang semuanya sudah termasuk tarif hotel. Rasanya gaya tidur seperti ini tidak ada di dalam kisah-kisah para backpacker di buku-buku maupun di blog-blog.
Pernah seorang teman berkomentar di dinding FB saya:
Gaya loe lebih mewah daripada gaya gue.
Nah, jadi apakah saya seorang backpacker?
Shock culture pertama saya di Cina adalah ketika bis kami berhenti untuk memberi kesempatan pada penumpangnya untuk buang air. Beberapa jam sesudah itu bis berhenti lagi untuk memberi kesempatan makan. Saya sama sekali tidak bisa makan. Apa yang telah saya lihat beberapa jam yang lalu itu mengganggu penglihatan saya terhadap mangkuk-mangkuk mie di depan mata saya.
Sementara menunggu bis bergerak lanjut ke Kunming, saya copot label backpacker itu dan buang di bawah kolong meja bersama sisa-sisa makanan yang semakin menggunung itu. Jangan tanya apakah saya seorang backpacker.