Iman dari Imbas Tera

Dasar Babi!

Lagi-lagi meleset! Namun di kejauhan terdengar daun-daun kering yang tersepak dua pasang kaki kedua adiknya. Itu sudah babi hutan buruan mereka yang kedua di pagi yang baru pukul setengah tujuh ini.

Iman berbalik. Pulang. “Memang seharusnya kuselamati keberhasilan mereka,” katanya pada dirinya sendiri. Langkahnya semakin menjauh dari hutan. Tetapi, di benaknya, dengung suara adiknya semakin keras. “Bidikan Kuki {Kata sapa untuk kakak laki-laki dalam bahasa Imbas Tera setempat.} itu malah membuat buruannya kabur dan lenyap selamanya! Padahal sudah sebegitu dekatnya! Malah kaburrr!” Lalu masih dalam benaknya, bagai adegan pada layar tancap, dilihatnya (lagi) tangan adiknya yang gemetar menahan gerakan dari mengarahkan bidikan pada dirinya.

Seperti kemarin pagi dan kemarin paginya lagi. Iman menghentikan putaran adegan-adegan itu dengan makian: “Dasar babi!”

Sungguh kuingin tahu. Apakah saat itu mata para babi di hutan berkedut?

Yang pasti, para babi itu tak seekorpun merasa telah lolos dari bidikan Iman. Mereka cuma merasa ketakutan dan kabur.

Menurut Iman, adik-adiknya sembarangan mengarahkan bidikan. “Huh. Babi di mana, membidiknya ke mana.” Curiga benar dia. Pasti adik-adiknya telah memasukkan umpan pada peluru mereka. Mana mungkin para babi itu malah berlari ke arah peluru mereka? Babi kan tidak bodoh.

Menurut Iman lagi, di antara mereka bertiga, hmmm berempat dengan bapak, dialah yang paling tepat mengarahkan bidikan. Seandainya ada mistar yang panjaaang, pastilah dapat ditarik garis tegak lurus antara kepala babi dengan senapan terhadap perutnya Iman. Andaikan perutnya itu busur, akan didapatilah sudut sembilan puluh derajat koma nol nol nol.

“Mengapa kamu tidak belajar dari adik-adikmu bagaimana mereka mengukur jarak dan menghitung kecepatan?” saran ibunya. Oh, tidak! Ketika mereka baru belajar merangkak seperti babi, Iman sudah mulai berburu babi. Ibunya tidak berani menyebutkan jumlah ekor babi yang berhasil ditangkap Iman dan Iman lebih suka mengaku, lupa. “Ini sih dasar babi!” Ah, untung bukan di depan ibunya ia memaki seperti itu.

“Baiklah, nanti malam akan kupasang perangkap di hutan.” Ini diskusi tunggal antara Iman dengan Iman. “Besok subuh, bahkan sebelum Dewa dan Dwi memulai ritual mereka berburu, aku sudah mengumpulkan hasil buruan. Yay!”

Sip!


Dewa dan Dwi

“Wah, nyaris saja bidikanku meleset tadi!” tukas Dwi pada Dewa dengan nada tiga perempat bangga.

“Oh kamu tidak lihat ya? Babi yang kedua itu berhenti beberapa detik dan memutar kepalanya ke arah kita. Saat itulah pelurumu mengenai kepalanya.”

“Oh ya? Tak sadar aku. Berdebar-debar aku memastikan terbangnya peluru jatuh di saat yang tepat.”

“Ya itulah kebiasaanmu berburu. Suka memicingkan sebelah mata. Sebelahnya lagi jadi tidak melihat. Huahahaha!”

“Hahaha. Itupun aku tak sadar.” Diam sejenak. “Tapi... berarti setiap kali aku mengarahkan bidikan, yang kau perhatikan adalah aku??”

“Ya iyalah! Penasaran aku.”

“Penasaran kenapa? Selama ini kupikir kau bantu mengawasi ke arah mana larinya buruan, seandainya bidikanku meleset.”

“Huahahaha. Maaf, Dwi. Aku hanya memperhatikan buruan bila aku yang sedang mengarahkan bidikan. Jika kamu yang sedang membidik, kamu yang aku perhatikan.”

“Wah... baru tahu aku. Merinding nih. Lalu, apakah Kuki sudah sampai pada suatu kesimpulan?”

“Kesimpulan? Hmmm! Membidik sambil memicingkan satu mata terbukti ampuh. Membidik sambil memicingkan dua mata terbukti mengandalkan keberuntungan.”

“Memicingkan dua mata itu merenung namanya, Kukiii!”

Dewa memicingkan kedua matanya. Apa benar ya?


Arang

Iman tiba dan tergopoh menuju ke belakang rumah sebelum Dewa dan Dwi kembali. Dikais-kaisnya tumpukan kayu bakar sisa kemarin malam. Ah, ini dia! Dipungutnya potongan kaki babi hutan yang luput jadi abu. Diukurnya diameter kakinya. Kemudian dilemparnya kembali si kaki babi hutan ke dalam sisa kayu bakar. Sebagai penutup, ditendangnya tumpukan itu sambil memaki, “Dasar babi!” Arangpun berterbangan ke segala penjuru, termasuk mukanya.

“Bagaimana kalau yang satu ini kita jual saja?” Terdengar suara Dwi bicara pada Dewa. Terlambat.

“Astaga, Kuki! Kenapa mukamu berarang moreng begitu?!”

Dasar Iman. Lebih berbakat dia jadi politikus daripada jadi pemburu babi hutan. “Ah, kau pasti belum baca warta Info Sakura bulan ini kan ya? Mari, duduk dulu.”

“Memangnya ada apa?” Dwi bingung. “Aplikasi Imbas Teraku bermasalah lagi.”

“Ya, ya. Aplikasi Imbas Tera memang memakan bandwith yang cukup besar. Nanti kupinjami HP-ku. Ketika kalian belum lahir, kondisi di Imbas Angsa lebih parah lagi. Kau harus bersyukur.”

“Makasih, Kuki. Tapi arang di mukamu itu kenapa?”

“Konon kayu itu bila terbakar, berubah menjadi arang.”

Dasar Dwi. Dilahirkan sebagai pemburu. Apapun diburu. Termasuk jawaban. “Kan terbakarnya di tanah. Bukan di muka Kuki.”

Iman tidak menanggapi. Telunjuknya yang memang aslinya hitam tetapi sekarang bersepuh debu arang itu berselancar dengan tekunnya di atas layar HP. “Nah! Ini Info Sakura-nya!”

“Wah, terima kasih, Kuki! Di halaman berapa adanya?”

“Ada apa?”

“Ng... ada arang di muka Ki Iman.”

“Hari ini masalah jaringan sudah teratasi. Seharusnya Info Sakura bisa kamu akses dengan lancar,” balas Iman.

Dewa memang saudara kembar Dwi. Namun secara proses kelahiran, Dewa lahir lebih dahulu. Secara karakter, mereka tidak seratus persen kembar. Dewa lebih suka cari aman. Sesungguhnya, Dewa tidak kurang terkejutnya melihat wajah Iman bercoreng arang seperti itu. Dwi berpikir Dewa tak peduli dan Dwi tak habis pikir bagaimana kembarannya ini tidak terperanjat, minimal terpesona.

Dasar aktor.

Dewa menyeruput susu kambing hangat yang disiapkan ibu di dapur. Di kepalanya berputar berpuluh rencana tentang apa yang hendak dilakukan dengan dua ekor babi hutan buruannya bersama Dwi pagi ini. Ah... menemukan kenikmatan dari menyusun rencana dan menyaksikannya satu per satu terealisasi itu memang suatu karunia. Arigatou.


Di Bawah Satu Atap

Iman, Dewa, dan Dwi tak sabar menanti datangnya pagi. Mereka terlentang di bawah atap yang sama, dengan pikiran yang berbeda.

Layar tancap yang terpancang dalam benak Iman saat ini adalah tentang 5 ekor babi hutan yang kekenyangan terperangkap dalam jebakan buatannya. Tali tambang sepanjang satu kilometer sudah disiapkan untuk mengikat hasil tangkapannya. Jebankannya, maksudnya. Kaki kanan belakang babi nomor satu akan diikat ke kaki depan kiri babi nomor dua lalu menyilang ke kaki belakang kanan. Simpul dua kali, tarik ke kaki kiri depan babi nomor tiga, tarik kencang, simpul dua kali, tarik silang ke kaki kanan belakang...  Pada layar tancap itu Iman melihat dirinya menggendong satu ekor babi sekarat dan empat ekor lainnya dengan karat yang sama menggelayut di belakang sambil terseret di antara daun-daun kering menyaingi bunyi langkah kedua adiknya yang masih mengendap-endap mengincar buruan. Secanggih-canggihnya adik-adiknya berburu, pasti tetap akan lebih cepat dia mengikat kelima, bahkan ketujuh, ekor, lalu membawanya pulang. Kali ini akan dia buat Dwi terperanjat bukan dengan wajah coreng moreng, melainkan dengan buruan yang menggunung dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Layar tancap yang terpancang dalam benak Dewa dan Dwi malam ini kembar bagaikan share screen. Chiyeee. Mereka melihat mereka mengendap. Pertama, ke arah kiri. Di situ ada pohon entah apa namnya yang cukup rimbun. Mereka terlihat bersembunyi di bawahnya. Mereka berusaha keras agar tidak mendengar bunyi napas masing-masing. Tahaaan. Mata mereka melotot. Srekkk...! Dengar! Itu! Kini mereka melihat mereka mengendap lebih ke arah kiri lagi. Di situ kebetulan kontur tanahnya agak landai. Pas buat rebahan hingga tak terlihat oleh para babi. Di sini Dewa melihat Dwi memicingkan sebelah mata. Seperti biasa, mata kiri yang dipicingkan. Dia memang cuma bisa memicingkan mata yang kiri. Jlebbb! Kena!! Dewa meninju pundak Dwi tanpa suara. Srekkk...! Dengar! Masih ada lagi! Tidak heran putera mahkota Kerajaan Poreper Prins yang sudah berusia 73 tahun itu menyebut berburu adalah hobi.


Pesta

Beralaskan keberhasilan yang mutlak, Iman melangkah masuk hutan tanpa senapan. Tinggal panen saja, buat apa bawa senapan? Justru malah nanti pulangnya jadi repot, karena harus menggiring 5 bahkan 7 ekor babi.

Iman mengayun-ayunkan senternya sementara bola matanya membuat tanda morse: kedap, kedip, kedaaap, kedip kedip, kedaaap. Bukankah di area sini ia letakkan jebakannya? Mengapa tak terlihat bayangan yang mirip jasad babi hutan seekorpun? Iman waswas mengangkat kakinya. Kalau ia sampai terperangkap di perangkapnya sendiri, tentulah seantero Imbas Tera akan berhenti membaca surat kabar, karena semuanya sibuk menyiarkan tentang Iman. Jadilah Iman berdiri tegak di situ, hingga fajar menyapa.

“Apa?!? Tidak mungkin! Dasar babi! Tidak mungkin!!”

Di bawah kaki Iman bersimpuh serpihan kayu, sobekan jaring, seperempat buah apel, seperempat batok kelapa, dan delapan bulir jagung. Wortel tidak ada lagi bekasnya. Mungkin para babi bawa blender ke sini.

 

Sebuah Countermeasure

Hidup tentunya akan lebih enteng andaikan Iman sudi ikuti saran ibunya. Tetapi, ego itu memang mahal. “Aku, Iman,” katanya pada dirinya sendiri. “Aku, pekerja keras. Aku, tidak mudah menyerah.”

Sungguh kuingin tahu. Bedanya antara pekerja keras dan pekerja keras kepala itu apa?

Yang pasti, ego itu bisa menelurkan kreatifitas, yang busuk sekalipun.

“Hey, Sukur! Anjingmu ini gagah sekali.”

Sukur yang 5 tahun lebih muda dari Iman tersenyum bangga. “Terima kasih, Ki Iman.”

“Sayangnya dia kelihatannya kurang lincah. Mungkin karena terus menerus diikat.”

“Ah, masa sih, Kuki? Menjelang malam memang biasanya kami ikat. Tetapi, tiap pagi hingga siang, kuajak main ke mana-mana.”

“Oh ya? Kalau begitu, besok pagi aku ikut main, boleh ya?”

“Adobi! Besok Kuki Iman mau main bersama kita. Bagaimana? Boleh ya?” Sukur mengelus-elus punggung Adobi, anjing kesayangannya. Adobi menggonggong girang.

Keesokan harinya bermainlah Adobi bersama Sukur dan Iman. “Bagaimana? Lincah kan?” tanya Sukur pada Iman.

“Iya ya. Lincah. Yuk, kita main di sana.” Iman menunjuk ke arah hutan. “Di sana lebih leluasa buat Adobi berlari-lari.” Sukur dengan lugunya percaya pada ajakan Iman.

Ketika Sukur dan Adobi sedang asyik-asyiknya bermain tangkap bola, Iman mengendap-endap pergi. Berburu memang ia kurang ahli, tetapi kalau sampai tingkat mengendap, ia sudah lulus.

“Bu Cupin! Maaf, saya mau memberitahukan bahwa Sukur dalam bahaya di hutan. Rupanya ia bermain dengan Adobi terlalu jauh. Sekarang ia sedang dikejar-kejar. Jika Bu Cupin berkenan, saya bisa bantu menembak segera pemburunya agar Sukur tidak diterkam.” Demikian tulisan Iman pada sepucuk kertas yang sudah disiapkan malam sebelumnya. Kertas itu dia sisipkan di bawah pintu kamar mandi Bu Cupin. Iman hafal betul bahwa di jam ini Bu Cupin sedang mencuci keset.

Sungguh kuingin tahu. Bagaimana Iman bisa hafal kebiasaan Bu Cupin melebihi kebiasaan babi hutan?

Yang pasti, Bu Cupin senang.

Duh, tadi sebelum mulai mencuci, roknya ditanggalkan biar tidak terciprat air cucian lumpur keset. “Imaaan! Imaaan? Terdengarkah?”

Tentu saja terdengar. Cecak di dinding saja sudah terpelanting jatuh oleh suara melengkingnya Bu Cupin. Pluk! Dan tentu saja Iman masih menunggu di situ meski sambil memicingkan satu telinga.

“Ya, Bu Cupin. Saya di sini. Maafkan, tadi saya tulis saja, karena khawatir mengganggu rutinitas Bu Cupin.”

“Tolong cepat ditembak, Iman. Terima kasih banyak, Iman.”

“Siap, Bu Cupin. Dengan segala senang hati, saya sedia membantu.”

“Ah, Iman, bisa saja.”

“Tapi nanti bagaimana dengan Sukur? Apakah saya ajak pulang juga?”

Bu Cupin memutar otak. Terus terang, baginya keset lebih penting daripada si Sukur. “Bisa minta tolong dititipkan dulu sekalian ke Nak Iman?”

“Siap, Bu Cupin. Dengan segala senang hati, saya sedia membantu.”

“Terima kasih banyak, Nak Iman!”


Dasar Anjing

Iman kembali mengendap-endap masuk ke dalam hutan. Rupanya Sukur masih belum sadar bahwa Iman telah menghilang. Tetapi Adobi segera mengendus kedatangan Iman. “Ah, itu dia kawan tuanku.” Berlari-lari ia menghampiri Iman dan jlebbb!

Sukur meraung.

“Tenang, Sukur.” Iman menghibur Sukur. “Tadi ibumu memintaku menembaknya, karena kamu dalam bahaya. Yang penting kamu selamat.”

Sukur meraung lebih keras.

 

Iman dari Imbas Tera

“Kuki! Hebat sekali!” seru Dewa dan Dwi hampir serempak. “Ini anjing hutan?”

“Ya, kulihat di hutan tadi pagi. Kupikir, lumayan juga sebagai selingan buruan babi hutan.”

“Tentu, tentu!” sorak Dwi.

Dewa menimpali, “Kuki memang pemburu ulung.”

Iman tersenyum empat perempat bangga. Bahkan dirinya, percaya.

 


Imbas Tera, 11 April 2022

No comments: