Gara-gara frustrasi nggak bisa-bisa bikin dekorasi kue yang paling sederhana sekalipun, teringatlah aku pada kata-kata magis yang entah kudengar / kubaca di mana. Katanya begini: Wanita itu terlihat semakin cantik jika dicintai. Lalu kusesalilah kue bikinanku yang kucintai dengan segenap jiwa dan raga tapi ya tetap jauh benar dari cantik.
Sebentar. Wanita itu terlihat semakin cantik jika dicintai. Lupakan spatula. Dicintai. Ini kalimat pasif. Dicintai oleh siapa? Oleh yang melihat? Ya iyalah ya. Kan katanya cinta itu buta? Kalau sudah cinta, ya cantiklah. Atau, karena cinta yang diterimanya, wanita itu terlihat cantik oleh orang-orang yang melihatnya? Ya oleh tetangga, rekan kerja, kerabat, supir angkot... ooops jangan sampai.
Ibuku. Seandainya dibuatkan definisi cantik lahiriah, pasti nggak masuk standar. Tetapi kenyataannya teman sekolahku di TK, 30 tahun kemudian mengingat ibuku yang mengajar di sekolah kami sebagai: Bu Guru yang cantik. Ibuku tertawa ketika kuceritakan ini. "Tahu apa anak TK?" Kini, di atas kursi roda sekalipun, predikat cantik tetap disanjungkan orang.
Kursi roda. "Kamu malu nggak, dorong-dorong mama di kursi roda?" tanyanya suatu hari.
Aku tidak melihat satu alasan pun seorang anak harus malu mendorong orang tuanya di atas kursi roda. Namun, untuk kasus ibuku, aku menyesali keberadaannya di atas kursi roda. Dulu dia seperti aku sekarang, banyak yang tidak menyangka umur sesungguhnya lebih tua dari yang tampak. Sayangnya, luka yang dibawanya sejak masa kecilnya tidak pernah dia ijinkan untuk dibasuh. Semakin bertambah usia, semakin menjadi rasa haus dikasihani... ah entahlah apa namanya. Secara medis, dokter tidak menemukan penyakit apapun. Satu-satunya diagnosa yang pernah diterimanya adalah scoliosis.
Scoliosis itu genetik, demikian yang kubaca. Nenekku, yaitu ibunya ibu, juga terlihat melengkung tulang punggungnya. Namun hidup mereka di mataku adalah hidup dua wanita yang totally different. Bagi nenekku, dapur adalah taman bermainnya. Hingga akhir hidupnya yang menjelang kepala sembilan, lantai adalah meja dapurnya. Mengupas, merajang, memotong, mengiris, menumbuk, semua dilakukan di atas lantai sambil duduk bersila. Hanya dari lakunya aku belajar: bahagia itu memasak. Sedangkan ibuku, tapas untuk mencuci gelas dan piring saja harus dibedakan. Jangan sampai keliru. Maka akupun bercita-cita punya rumah sendiri, supaya bisa masak, bikin kue, se... puasnya.
Sejauh yang kutahu, tidak pernah kudengar nenek membuat orang memberi pertolongan kepadanya dengan mengancam, "Pinggang mau patah nih!" Ketika aku sedang malas ikut pergi bersamanya, tidak pernah seperti ibu yang lalu berpesan, "Kalau mama nggak pulang, jaga papa baik-baik ya."
Ide sekolah perhotelan ditampik sedemikian kerasnya hingga untuk membaca iklan pendaftarannya saja, hilang sudah nyaliku. Ayah diam. Setahun kemudian: "Kalau kamu suka bahasa Jepang, kenapa tidak coba daftar Sastra Jepang?"
Teman kuliahku, seperti teman TK-ku, mengatakan ibuku cantik.
Tahun-tahun terakhir ayah dihabiskan di atas tempat tidur, karena lumpuh sebelah badan. Lumpuh, karena tekanan darah tinggi. Kata orang, tekanan darah tinggi itu akibat stress. Aku sendiri sudah memilih untuk menghargai hidupku sendiri di rumah sendiri, di dapur sendiri. Kadang aku bertanya, seandainya ayah tidak lumpuh, akankah dia meninggalkan ibu?
Kata orang lagi, orang yang hidup dalam kepahitan akan terpancar pada wajahnya. Baiklah. Mana ada wajah pahit yang cantik? Ya nggak sih?
Namun justru itulah, pada diri ibu, kusaksikan bahwa memang benar wanita itu terlihat semakin cantik jika dia dicintai. Ibuku telah dicintai oleh ayah bukan karena kesempurnaannya, dan ibuku telah menjadi cantik bukan karena keelokannya, itu pasti.
bersihkan spatulamu
sebab hidupmu berharga
menjelang akhir mei 2021