Andrea Hirata dan Oey Thai Lo mungkin akan sepakat bahwa adalah takdir yang mempertemukan
mereka di atas meja lipat putih buatan IKEA milikku.
Ceritanya, aku tengah memasuki fase bosan bin jenuh dengan
segala rupa yang berbau sosmed. Satu, eh dua, kata: panggung sandiwara. Yang
lebih memuakkan buatku adalah menjadi salah satu dari pemainnya tanpa
benar-benar kuinginkan. Lagi-lagi aku berhenti meneruskan blog perjalananku
walaupun sudah berjanji untuk kesekian kalinya pada mereka dari negara ketiga
terakhir yang kukunjungi untuk terus menulis sebagai bentuk apresiasiku pada
orang-orang asing yang telah berhati emas untukku. Berplesir, berfoto,
membayangkan diri seorang petualang sejati, menulis, diberi jempol, dipuji, diacuhkan,
berplesir lagi, berfoto lagi, menyanjung diri sendiri lagi, menulis, diberi
jempol lagi, satu tahun, dua tahun, tiga tahun, empat tahun… teringatlah aku
pada janji lain. Ini cuma janji pada diri sendiri. Aku janji akan membaca karya
Andrea Hirata lainnya setelah menyelesaikan tetralogi Laskar Pelangi-nya.
Gramedia, aku datang, lagi. Ayah dan Padang Bulan
kuraih. Kalau habis ini langsung jalan ke kasir, itu bukan pergi ke toko buku namanya. Tour de Bookstore dimulai.
Letnan Oey Thai Lo:
Anak Tukang Cukur Miskin dari Fukien menjadi Taipan di Betawi. Pertama,
Fukien, itu tempat kakekku lahir dan dibesarkan sebelum ia merantau ke
Palembang. Kedua, marga “Oey” adalah satu dari puluhan marga Tionghoa yang
punya beberapa makna untukku. Di pojok kanan atas tertera: Sebuah Novel Historis 1780-1838. Itu yang ketiga. Dulu di sekolah,
pelajaran sejarah itu lebih membosankan daripada PKK. Ironisnya, setelah aku
punya cukup pendapatan untuk berplesir, aku jadi penggila sejarah. Kalau aku
jadi Menteri Pendidikan, aku akan mensyaratkan guru sejarah itu punya
pengalaman berplesir dan berjiwa sastrawan. Sungguh tak salah almamaterku
memasukkan Jurusan Sejarah di bawah Fakultas Sastra. (Ya iyalah, masakan mau
dimasukkan di bawah Fakultas Hukum atau FMIPA?)
Dari guru-guru sejarahku yang semuanya membosankan itu, ada
satu pernyataan (pengajaran?) yang takkan kulupakan selama hayat dikandung
badan. Dia orang Timor dan kami mayoritas kaum mata sipit. Janganlah kita
bicara warna kulit. Kasihan beliau. Kata beliau kepada kami,
“Devide et impera! Itulah yang bikin jadi ada yang namanya
pribumi dan non-pribumi. Itulah yang bikin kita jadi seteru!”
Bosan sudah aku mendengar “devide et impera”. Lebih benci
lagi ketika mama yang produk sekolah Belanda mengkritik mentah-mentah ucapan
“devide et impera”-ku.
Seakan ada awan-awan muncul di atas kepalaku dan Pak Abineno
membacanya seperti membaca komik, beliau melanjutkan,
“Dengan membedakan sekolah untuk keturunan Tionghoa dan
keturunan Melayu, nenek moyang kita telah dicekoki pemahaman bahwa kita berbeda
kelas.”
Di rumah, kuceritakan itu pada papa yang produk sekolah
Tionghoa. “Memang iya!” tukas papa. Kaget aku. Tak kusangka. Dari papa aku
dapat pernyataan lain lagi. “Dijajah itu memang sial. Tapi paling sial kalau
dijajahnya sama Belanda.” Mama cemberut.
Nah! Di atas meja lipat putih buatan IKEA ini, Andrea Hirata
dan Oey Kwie Djien (penulis Letnan Oey
Thai Lo) seakan berjabat tangan menyatakan sepakat: Belanda itu jahat.
Orang lain pastilah beranggapan aku membeli ketiga buku ini
(Ayah, Padang Bulan, Letnan Oey Thai
Lo) karena setipe. Andrea Hirata aku suka (banget) gaya tulisannya. Setting cerita dan tokoh, itu urutan
berikutnya. Kalau Letnan Oey Thai Lo,
karena alasan tadi di atas.
Aku terkesima. Walaupun yang satu cerita dari Sumatera dan
yang satu lagi dari Jawa, walaupun yang satu cerita di tahun 1900-an akhir dan
yang satu lagi di tahun 1800-an awal, walaupun yang satu pribumi dan yang satu lagi non-pribumi,
isinya sama: Belanda jahat. Ya, ya, ya, memang sudah kubilang itu sebelumnya.
Kompeni, miskin, kapal, kelontong, losmen, tembakau, kongsi, bahkan Pekalongan.
Kerap aku jadi deja vu. Sedangkan
rumus Melayu + Tionghoa = cinta, baik si Melayu maupun si Tionghoa berkisah,
indah.
Satu kekeliruanku: membaca karya Andrea Hirata lebih dulu,
baru Novel Letnan Oey Thai Lo. Setiap
4 halaman sekali, aku tak kuasa mengandaikan Andrea Hirata yang menuturkan
kisah Letnan Oey Thai Lo. Lalu aku
memarahi diri sendiri, karena kalau aku jadi Oey Kwie Djien, aku pasti sebal dibanding-bandingkan.
Namun pada halaman ke-4 berikutnya dan berikutnya lagi, tak ayal pengandaian itu
timbul kembali. Yang pasti, Letnan Oey
Thai Lo lebih aman daripada Maryamah
Karpov untuk diajak mengiring perjalanan kereta api 31 jam Beijing –
Turpan. Para kerabat penumpang tidak akan menduga aku mengidap penyakit gila nomor
44 lantaran cekikikan lalu menggosok mata dengan tisu lalu cekikikan lagi dan
terakhir menyedot ingus – semuanya tanpa minta ditemani mereka.
Yang pasti satu lagi, oleh yang manapun, aku dibawa merenungkan
tentang makna hidup. Sesungguhnya, itulah esensi dari semua kisah sejarah dan
biografi, yaitu bahwa:
Adapun manusia, hari-harinya seperti rumput,seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga;apabila angin melintasinya, maka tidak ada lagi ia,dan tempatnya tidak mengenalnya lagi. (Mazmur 103:15-16)
Aku tidak menggolongkan diri pada yang percaya feng shui.
Bagiku, hidup itu sepenuhnya di tangan Allah, bukan di arah hadap pintu dan
jendela. Meskipun begitu, aku suka memperhatikan feng shui, karena ada di
antara anjuran dan larangannya itu yang sebetulnya mengandung alasan ilmiah. Sederhananya,
kita tetap tidak akan menjulurkan jari ke dalam api kompor di rumah, meskipun
di dalam Kitab Suci tidak ada ditulis, “Janganlah engkau menaruh jarimu di atas
kompor.” Menjulurkan jari ke dalam api akan membawa sial. Pastinya.
Maka, di depan meja putih lipat buatan IKEA ini aku
tiba-tiba menegakkan pundak mengikuti petunjuk ahli feng shui-nya Oey Thai Lo
ketika hendak merenovasi rukonya di Jalan Toko Tiga. Eh, nasib. Satu lembar
dari novelku ini tak ada. Satu lembar itu artinya 2 halaman. Di bagian lain,
ada lagi satu lembar yang tak nampak. Penggantinya, 2 lembar yang dobel dan 1
lembar terbalik. Mungkin percetakannya waktu bikin pabrik tidak konsultasi pada
ahli feng shui. Sepanjang sejarahku membaca buku, tidak pernah rasanya seapes
ini dapat buku. Alhasil ada detail feng shui yang hilang. Tahu-tahu ceritanya
sudah sampai pada kursi makan yang tidak boleh menghadap ke Barat dengan alasan
lafal kata “Barat” dan “mati” itu serupa. Ah, itu sama dengan toko yang katanya
juga tidak boleh menghadap ke Barat.
Aku sih setuju. Bangunan itu kalau
menghadap ke Barat, dapatnya panas matahari siang yang sungguh tidak nyaman.
Belum lagi kalau lokasinya di pesisir pantai. Di jaman AC belum tercipta, toko
menghadap ke Barat bisa semakin membawa sial, karena pelanggan tidak akan betah
di dalamnya, atau bahkan malas berkunjung. Sebaliknya, pada pagi hari toko akan
kelihatan suram karena kurang cahaya matahari. Kesannya yang jualan nggak niat. Tidak ada pengunjung = tidak
ada keuntungan. Tidak ada keuntungan = tidak ada hoki. Lumrah.
Namun, sedemikian usaha Oey Thai Lo menghindari arah Barat,
ia tetap gagal menghindari kematian. Di rumah itu, istrinya dan dirinya sendiri
meninggal, dalam usia yang terbilang muda. 20 tahunan kemudian, putranya yang
hingga hari ini diingat sebagai playboy Batavia, meninggal di tiang gantungan
pada usia 31 tahun. Dosanya? Membuat saingan-saingnan bisnisnya menghadapi
kematian di luar kehendak mereka. Adiknya, aku curiga sudah meninggal lebih
dulu, karena menurut kisah, adiknya itu sejak lahir penyakitan.
Di atas tanah bekas jajahan Belanda ini, sesungguhnya lebih
bermakna hidup sebagai pendulang timah atau sebagai pedagang tembakau? Bagiku,
hidup seperti yang digambarkan oleh Andrea Hirata dalam novel-novelnya adalah hidup
yang jauh lebih kaya. Kaya yang tidak terpengaruh oleh kurs. Dijajah Belanda boleh dibilang sial. Punya ayah yang kaya boleh dibilang untung.
Selamat Hari Ayah Nasional, 12 November 2015