Senang sekali aku melihat papan tulis di ruang kuliah kami bertuliskan teks dalam Bahasa Perancis. Sementara dosen kami belum datang, kubaca teks itu keras-keras dengan kebanggaan yang meluap-luap. Bayangkan! Aku anak Jurusan Sastra Jepang, tetapi bisa membaca teks berbahasa Perancis. Hebat, bukan?
Bulan demi bulan sebagai mahasiswa kulalui. Aku semakin kenal dengan teman-teman baruku. Di antaranya adalah Kanya. Sejak hari-hari pertama, kami sering pergi bersama dan melakukan kegiatan bersama. Kebetulan kami sama-sama sudah punya bekal Bahasa Jepang sebelumnya, sehingga ketika teman-teman berkutat belajar di kamar, Kanya malah menjadi pemanduku keliling Kota Bandung. Yuhuuu, indahnya jadi mahasiswa! Bandung, ai lap yu euy!
Ternyata ibunya Kanya adalah seorang lulusan Sastra Perancis. Bukan itu saja. Ibu Kanya adalah Guru Bahasa Perancis. Salah satu muridnya, Kanya sendiri. Keringat dingin merayap di punggungku. Ketika aku membaca teks berbahasa Perancis itu keras-keras, Kanya duduk persis di belakangku. Dia tidak ikut membaca dan juga tidak mengatakan apa-apa. Dia bersikap seakan dia tidak bisa Bahasa Perancis sama sekali.
Dibandingkan dengan orang yang buta sama sekali Bahasa Perancis, aku memang hebat. Namun bagi yang tahu, lafalku itu hancur berantakan. Banyak pula di antara kalimat itu yang aku tidak mengerti artinya, meskipun bisa baca. Singkatnya, kehebatanku itu bukan apa-apa sama sekali.
Aku salut pada keagungan sikap Kanya yang membiarkan diriku merasa hebat dan yang tidak menertawai hancurnya lafalku. Kalau aku ada di tempat Kanya saat itu, aku pasti akan tertawa keras-keras. Pasti. Aku salut sekaligus malu pada Kanya.
Kejadian itu menjadi pelajaran yang sangat berharga. Berlangsungnya tidak lebih dari 10 menit. Tetapi, kuingat melebihi mata kuliah manapun yang pernah diberikan oleh dosen-dosenku. Hati-hatilah ketika berbicara, karena aku tidak tahu dengan siapa aku berbicara. I don't know whom I'm talking to. Orang yang aku pikir sudah kenal, belum tentu benar-benar kukenal.
Dari Kanya aku belajar untuk bersikap gentleman ketika ada orang yang memamerkan kehebatannya. Dari Kanya aku belajar untuk tidak norak.
Ternyata yang pertama lebih mudah diterapkan daripada yang kedua. Belasan tahun kemudian aku masih belum lulus juga. Kejadiannya di tempat kerja.
"Berangkat dari Istanbul pagi, sampai di Kuala Lumpur pagi besoknya. Padahal perjalanannya nggak ada 24 jam!" ceritaku berapi-api pada seorang rekan kerja. "Satu hari itu jadi tidak ada 24 jam buatku."
"Oh... begitu ya...?" Rekan kerjaku itu seakan baru tahu juga bahwa ada perjalanan penerbagan semacam itu. Sikapnya benar-benar menunjukkan seperti itu.
Sekian hari kemudian aku baru sadar bahwa rekan kerjaku itu memang belum pernah ke Turki, tetapi sudah ke Eropa. Eropa betulan, maksudnya. Bukan Eropanya Turki. Tentulah dia juga tahu bahwa penerbangan kembali ke Indonesia akan mengalami persingkatan waktu.
Maklum, aku belum pernah sebelumnya bertamasya sampai sejauh Turki. Aku baru pertama kalinya itu mengalami lihat sunrise dan sunset dalam penerbangan yang sama. Aku norak, karena aku baru jadi bulir padi kosong. Ditiup angin sedikit saja sudah melambai-lambai ke angkasa.
Kemarin sore aku menguping percakapan di meja makan sebelahku di sebuah resto. Dengan kaki tertumpang di atas kaki satunya, dada membusung, kepala tegak, pemuda yang agak gemuk itu menceritakan perjalanannya dari Amerika kembali ke Indonesia. Aku seperti mendengar rekaman kata-kataku sendiri. Aku yakin kalau dia sudah sekian kali bolak balik Amerika - Indonesia, bicaranya tidak akan seperti itu lagi.
Aku terpekur di mejaku, membuat daftar kenorakan-kenorakan yang pernah aku buat. Panjang juga ternyata. Namun aku paling terdengar seperti pemuda di sebelah ini ketika aku baru pulang dari Jepang. 'Kalau di Jepang...' senantiasa mengisi setiap awal kalimat pembicaraanku sampai-sampai mama merasa perlu menegurku.
"Ceritakanlah semua tentang Jepang kepada papa dan mama. Apa saja. Semuanya. Ceritakan. Dan, ceritakan lagi. Kami tidak akan pernah bosan mendengar ceritamu. Tetapi belum tentu demikian dengan orang lain. Lama-lama orang bisa muak juga dengar sebentar-sebentar 'Kalau di Jepang...' "
Pikiranku lalu melayang kepada teman-teman seperti Kanya. Ah, teman itu rupanya adalah seorang dimana aku bisa berbagi kenorakan dan teman itu tidak pernah muak. Di samping daftar kenorakanku itu, kubuat daftar teman. Untuk teman-temanku yang tidak pernah muntah mendengar ceritaku, terima kasih ya!